Ecstasy / Inex Inex adalah sebutan umum dari pil ecstasy. Pil ini mulai menjadi trend dikonsumsi di discotik2 di Indonesia sejak tahun 1990-an. Pada mulanya pil ini hanya diimport dari negara Belanda saja dan kandungan senyawanya pun masih asli yaitu MDMA MethyleneDioxyMethAmphetamine, sekarang pil2 inex ini sudah banyak yg diproduksi secara ilegal di dalam negeri. Senyawa MDMA ini mengakibatkan efek2 psikologis sebagai berikut 1. perasaan senang yg luar biasa 2. hilangnya permusuhan dan rasa ketidak amanan 3. rasa intimasi antara satu sama lainnya sehingga disebut juga love drug 4. rasa empati dan simpati antara satu dengan yg lainnya 5. rasa damai dalam hati dan dihargai oleh orang lain serta meningkatkan percaya diri 6. sensitif terhadap nada, suara, berbagai macam bunyi2an sehingga dapat menikmati musik 7. sensitif dan menikmati sentuhan satu sama lainnya 8. distorsi pandangan 9. energetik yg luar biasa 10. kebiasaan untuk menggeleng2kan kepala dengan kencang godek supaya menghasilkan rasa âonâ yg lebih tinggi Sedangkan efek2 fisiknya 1. dehidrasi serta berkurangnya proses urinasi 2. meningkatnya suhu tubuh dan banyak berkeringat 3. meningkatnya detak jantung dan tekanan darah 4. gerakan pupil dan iris yg tidak terkendali tertarik ke atas mata 5. gerakan rahang yg selalu mengigit dan bergesekan 6. sensitif terhadap temperatur sekelilingnya 7. berkurangnya nafsu makan tidak semua pemakai merasakan ini MDMA menyebabkan kecanduan secara psikologis pada sebagian besar pemakainya dan tidak pada segelintir orang yg lainnya, kemungkinan hal ini disebabkan oleh efek âbad tripâ yg mungkin terjadi pada orang2 tertentu sehingga membuat mereka jera untuk mengkonsumsinya kembali di lain waktu. Akan tetapi jika seseorang sudah merasakan âhighâ maka pada saat efek dari MDMA ini mulai drop ia akan merasakan âemosi yg remukâ dan mulai memikirkannya untuk mengkonsumsinya kembali segera atau dalam jangka waktu tertentu misalnya week-end berikutnya. Pengkonsumsian MDMA secara rutin dapat dipastikan akan terus meningkatkan toleransinya terhadap dosis yg harus dipakai bahkan pada suatu saat ia akan mulai merasakan efek âmagicâ dari pil ini yg mulai menghilangkan seberapapun banyaknya dosis MDMA yg telah dikonsumsinya. Efek drop dari MDMA dalam jangka pendek mengakibatkan depresi/emosi yg remuk dimulai dari 1-2 hari setelah pemakaian dan bisa mencapai hingga 4-7 hari sesudahnya, menjadi sering kaget ketika tertidur, terganggunya ingatan jangka pendek short-term memory, sulit berkonsentrasi, penglihatan yg berbayang, dan jaw clenching gigi yg rasanya selalu terikat dan ingin bergesekan terus menerus. Sedangkan efek pemakaian jangka panjang mengakibatkan terganggunya fungsi hormon serotonin dan dopamine di dalam otak, terganggunya pula fungsi keseimbangan temperatur tubuh, menjadi sangat pelupa, tidak mampu belajar dan konsentrasi, sulit untuk mengambil keputusan, emosi menjadi labil mudah panik, paranoia, dan tahun 1995 dimulailah beredar pil2 inex di pasaran yg kandungannya sudah bukan lagi MDMA murni atau bahkan sama sekali tidak mengandung MDMA melainkan senyawa lain yaitu MDEA eve 3,4-methylenedioxy-N-ethylamphetamine, MDA adam 3,4-methylenedioxyamphetamine, DXM dextromethorphan/bahan obat batuk, ketamine, PCP Phencyclidine, GHB gamma-hydroxy butyric acid, LSD, methamphetamine shabu, ephedrine bahan obat batuk, caffein, methylsalicylate bahan pengharum ruangan yg sifatnya toxic, paracetamol, aspirin, cocaine, bahkan bahan yg sangat berbahaya yaitu PMA paramethoxyamphetamine. Berbeda dari MDMA, MDEA dan MDA bisa menghasilkan efek halusinasi dan tidak mencapai tingkatan euphoria seperti yg dihasilkan MDMA. Sedangkan DXM, ketamine, dan PCP merupakan zat2 yg bersifat halusinasi dissociative dan mengakibatkan si pemakai tidak bisa mengendalikan dirinya ketika ia mengalami halusinasi karena terputusnya fungsi kesadaran otak dengan fungsi otak bagian lainnya sehingga ia susah untuk membedakan mana yg nyata dan mana yg tidak nyata. PMA merupakan bahan pencampur/pengganti yg sangat berakibat fatal dan cenderung membuat si pemakai overdosis karena efek âonâ yg dihasilkannya terlambat ketimbang MDMA sehingga membuatnya akan mengkonsumsinya lagi atau menambah pil lain yg mengandung MDMA. Overdosis PMA yg dikonsumsi bersamaan dengan MDMA mengakibatkan meningkatnya suhu tubuh secara drastis sehingga sering menyebabkan kematian yg dihasilkan dari hyperthermia temperatur tubuh yg terlalu panas. Akan tetapi bagi para pencandu berat inex yg sudah tidak bisa lagi merasakan efek âmagicâ dari MDMA murni akan mulai dengan sengaja mencampur pengkonsumsiannya antara pil2 yg mengandung MDMA murni dengan pil2 lain yg sudah diketahui mengandung Ketamine / DXM / PCP / LSD, oleh karena bahan2 pemalsu ini yg mampu mengangkat efek âonâ dari MDMA murni menjadi lebih tinggi dari normal. Ciri2 âonâ dari inex campuran ini antara lain 1. sudah tidak lagi bisa berhura2 dan berjoget2 riang akan tetapi tetap duduk di bangku 2. sudah tidak lagi menggeleng2kan kepalanya dengan kencang melainkan hanya dengan pelan atau termangut2 saja 3. terkadang hanya terdiam kaku di bangku seperti terbengong2 oleh karena halusinasi yg sangat nyata 4. jauh lebih cepat mengalami overdosis dibanding para pemakai MDMA murni DXM Dextromethorphan / robo-trip DXM adalah senyawa sintetik yg terkandung di dalam berbagai jenis obat batuk yg bersifat antitussive yaitu jika dikonsumsi dalam dosis yg tepat maka zat ini mampu meredam batuk. Akan tetapi penggunaannya banyak disalahgunakan dengan cara mengkonsumsi lebih dari dosis yg dianjurkan. Serupa dengan senyawa PCP dan Ketamine, jika DXM dikonsumsi melebihi dosis yg dianjurkan senyawa ini juga bersifat halusinogen dissociative, yaitu dibloknya fungsi kesadaran di dalam otak dan saraf sehingga akan membuat si pemakainya berhalusinasi dan merasakan seperti berada di dalam dunia mimpi dan sukar membedakan antara nyata atau tidaknya halusinasi tersebut. Berbeda dengan halusinasi yg diakibatkan oleh LSD lysergic acid diethylamide si pemakainya masih mampu mengontrol tingkat kesadarannya, seperti halnya dia masih bisa mengingat akan siapa dirinya bahkan siapa namanya, sedangkan pada DXM, PCP, dan Ketamine tidak. Efek2 yg disebabkan oleh DXM jika dipakai melebihi dosis yg dianjurkan meliputi 1. halusinasi dissociative 2. gembira excited atau kebalikannya 3. berkeringat banyak 4. nafas jadi pendek 5. berada dalam kondisi antara tidur dan sadar 6. mual dan muntah2 7. pendengaran yg menjadi seperti berombak2 8. tekanan darah yg menjadi tinggi 9. jantung yg berdebar2 10. amnesia 11. tidak bisa mengenal kata2 dan objek yg terlihat 12. paranoid dan merasakan seperti akan mati 13. koma bahkan kematian DXM juga PCP dan Ketamine merupakan jenis bahan pengganti/pemalsu/pencampur yg sering ditambahkan ke dalam pil ecstasy yg beredar di pasaran karena bahan ini jauh lebih mudah didapat dan harganya yg lebih murah ketimbang bahan asli dari ecstasy yaitu MDMA MethyleneDioxyMethAmphetamine. Pada kenyataannya tahap overdosis yg dihasilkan dari pemakaian DXM jauh lebih cepat dibanding MDMA sendiri. Overdosis DXM dapat mengakibatkan kematian oleh karena terhentinya otak mengirim sinyal ke paru2 agar tetap bernafas. DXM juga menyebabkan ketagihan secara psikologi dan toleransi terhadap dosis pemakaian dari waktu ke waktu. Cocaine crack cocaine Cocaine adalah salah satu senyawa yang terdapat dalam daun tumbuhan coca yg tumbuh di dataran benua Amerika. Proses pemurnian senyawa tersebut menghasilkan bubuk cocaine hydrochloride murni yg mudah larut ke dalam air. Pemakaian cocaine hydrochloride menyebabkan terhalangnya penyerapan kembali hormon dopamine, serotonin, dan noradrenaline yg sudah dilepaskan di dalam otak oleh sel2 sinapsis sehingga kadar dari hormon2 tersebut di dalam otak akan meningkat secara drastis. Peningkatan dari hormon2 tersebut menyebabkan perasaan âhighâ, hilangnya rasa sakit, lapar, dan letih/ngantuk, menambah konsentrasi, rasa percaya diri, dan perasaan euphoria/senang. Oleh karena bubuk cocaine hydrochloride mudah larut ke dalam air maka pemakaian dari bubuk cocaine pada umumnya meliputi 1. disedot menggunakan hidung 2. dimakan 3. digosokan di sekitar gusi mulut 4. disuntik Pemakaian cocaine dapat dipastikan mengakibatkan toleransi dan kecanduan, karena pada saat efek dari cocaine itu âdropâ si pemakaian akan merasakan tidak nyaman dan depresi sehingga memaksa ia berusaha untuk memakainya kembali. Pemakaian jangka panjang dapat mengakibatkan 1. tidak menentunya denyut jantung 2. halusinasi 3. paranoid 4. tekanan darah tinggi Kombinasi antara cocaine, rokok dan alkohol akan menambah rasa euphoria pada si pecandu, tidak heran mereka akan terus menerus menghisap rokok dan minum minuman beralkohol tinggi pada saat mereka menggunakan cocaine sehingga dengan demikian para pecandu cocaine akan sangat beresiko terkena serangan jantung, stroke, gagal ginjal, bahkan kematian. Sedangkan crack adalah cocaine hydrochloride yg telah diproses menggunakan baking soda sehingga menghasilkan freebase amine/bentuk dasar amina cocaine yg tidak dapat larut dalam air sehingga pemakaiannya hanya cocok dengan cara dihisap seperti rokok. Efek psikologis dari crack jauh lebih kuat ketimbang cocaine hydrochloride akan tetapi sering membuat jiwa si pemakai merasakan ganjil aneh sehingga sering membuatnya berubah menjadi brutal. Tingkat kecanduan dari crack jauh melebihi cocaine hydrochloride bahkan crack merupakan salah satu dari jenis narkoba yg paling membuat kecanduan dan toleransi pada pemakainya. Mereka yg memakainya akan selalu berusaha untuk mencapai âhighâ & euphoria seperti sebelumnya sehingga akan terus menambah dosisnya dari hari ke hari sampai pada akhirnya mengakibatkan kematian yg disebabkan oleh overdosis. Walaupun demikian sebenarnya kadar senyawa cocaine dari daun tumbuhan coca itu sendiri sangat kecil persentasenya sekitar sehingga untuk menghasilkan 1gram bubuk cocaine hydrochloride murni dibutuhkan 500gram daun coca. Daun coca sendiri sudah lama dimanfaatkan oleh suku Indian Andes sebagai tanaman obat yg dapat menyembuhkan penyakit kekurangan oksigen yg diakibatkan oleh tipisnya oksigen di dataran tinggi dan menyembuhkan penyakit pada pencernaan dengan cara diseduh lalu diminum seperti teh atau dikunyah. Mereka juga mengunyah daun coca sebagai obat alami anesthesia peredam rasa sakit ketika mereka terluka oleh panah pada saat berperang. Pemakaian daun coca dengan cara diseduh maupun dikunyah tidak dapat menimbulkan perasaan âhighâ pada si pemakai dan juga tidak pernah terbukti mengakibatkan kecanduan. Bahkan pada tahun 1980 telah ditemukan oleh ilmuwan bahwa daun coca bisa dipakai sebagai obat untuk menyembuhkan kecanduan dari para pecandu crack dan cocain.
Untukmembuat sebuah perabot kayu ada beberapa bahan pembantu seperti berikut ini: 1. Kayu: mencakup sekitar 55-75% dari total biaya untuk sebuah perabot. Akan sangat berpengaruh besar terhadap harga sebuat furniture hanya dengan mrubah jenis kayu yang digunakan. Oleh dari itu penting sekali diketahui tentang jenis kayu sebelum melakukan
ï»żABSTRAKPestisida adalah substansi kimia dan bahan lain yang digunakan untuk mengendalikan berbagai hama yang terbukti mengganggu. Pestisida dapat dibuat dari bahan alam yang salah satunya dari daun pepaya dan umbi bawang putih. Hal ini diiringi dengan mudahnya didapatkan bahan alam tersebut sehingga muncullah ide untuk membuat pestisida dari bahan tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari pengaruh variasi waktu perendaman bahan baku dengan variasi pelarut, menghitung rendemen dari variasi waktu perendaman bahan baku dan menguji senyawa metabolit sekunder dari rendemen maksimum lalu menguji toksisitas ekstrak yang diperoleh terhadap larva nyamuk. Penelitian ini dilakukan dengan metode ekstraksi maserasi menggunakan pelarut metanol dan etanol. Variasi waktu perendaman 3,5,7 hari dengan suhu lingkungan, nisbah larutan padatan sebesar 1 4, setelah proses perendaman dilakukan penyaringan dan hasil saringan berupa filtrat didestilasi dengan kondisi operasi temperatur 80o C selama 50 menit. Lalu ekstrak diuji senyawa metabolit sekundernya, diukur pHnya dan toksisitas terhadap hewan uji. Kondisi operasi maksimum diperoleh pada waktu perendaman selama 7 hari dengan kadar rendemen sebesar 41,35 % dengan pH 5,79 untuk hasil ekstrak metanol dan 36,06 % dengan pH 5,86 untuk hasil ekstrak etanol. Metabolit sekunder yang berhasil diidentifikasi adalah alkaloid, flavonoid, saponin, tanin dan sulfur. Konsentrasi maksimum yang membunuh larva nyamuk adalah sebesar 3000 ppm dengan rata-rata kematian larva 95 % untuk ekstrak etanol dan 97,5 % untuk ekstrak kunci pestisida alami, daun pepaya dan umbi bawang putih, ekstraksiABSTRACTPesticides are chemicals and other substances used to control pests that could prove disruptive. Pesticides can be made from natural materials, one of which from the leaves of papaya and garlic bulbs. It is accompanied by easily obtained natural materials that came the idea to create pesticide of these materials. The purpose of this research was to study the effect of variations in the time of immersion of raw materials with a variety of solvents, calculate the yield of raw material variation of soaking time and the test compounds secondary metabolites of maximum yield and test the toxicity of exstracts obtained against mosquito larvae. The research was done by maceration extraction method using methanol and ethanol. 3,5,7 days soaking time variation with temperature, the solid solution ratio 1 4, after immersion do filtering was done and filter the results in the form of the filtrate is distilled at 80o C temperature operating conditions for 50 minutes. Then extract secondary metabolites were tested, measured their pH and toxicity towards the test animals. Maximum operating conditions obtained at the time of immersion for 7 days with high levels of yields at % with a pH of for methanol extract and % with a pH to extract the ethanol. Secondary metabolites that were succesfuly identified are alkaloids, flavonoids, saponins, tannins, and concentration that killed mosquito larvae is equal to 3000 ppm with an average of 95 % larval mortality for ethanol extract and % for methanol natural pesticides, papaya and garlic bulbs, extraction To read the full-text of this research, you can request a copy directly from the authors.... Banyak penelitian yang telah membuktikan beberapa tanaman memiliki kandungan yang efektif dalam mengendalikan hama seperti daun pepaya Yennie & Elystia, 2013;Ariyanti et al., 2017;Fajri et al., 2017;Hasfita et al., 2019;Latumahina et al., 2020, bawang merah Yennie & Elystia, 2013;Debra & Misheck, 2014, bawang putih Debra & Misheck, 2014, daun sirih dan daun sirsak Latumahina et al., 2020, Calceolaria Ariyanti et al., 2017. ...... Banyak penelitian yang telah membuktikan beberapa tanaman memiliki kandungan yang efektif dalam mengendalikan hama seperti daun pepaya Yennie & Elystia, 2013;Ariyanti et al., 2017;Fajri et al., 2017;Hasfita et al., 2019;Latumahina et al., 2020, bawang merah Yennie & Elystia, 2013;Debra & Misheck, 2014, bawang putih Debra & Misheck, 2014, daun sirih dan daun sirsak Latumahina et al., 2020, Calceolaria Ariyanti et al., 2017. ...... Tanaman pepaya dapat digunakan sebagai pestisida nabati, salah satunya karena memiliki getah pepaya. Getah pepaya ini mengandung senyawa-senyawa dari golongan alkaloid, flavonoid, terpenoid, dan asam amino non protein yang beracun bagi serangga Julaily et al., 2013;Yennie & Elystia, 2013;Latumahina et al., 2020. Kandungan pada getah pepaya ini dipercaya dapat mematikan organisme pengganggu yang merusak dan menghambat pertumbuhan tanaman. ...Ardianti SaputriFitri DamayantiYulistiana YulistianaBudidaya tanaman kangkung Ipomoea reptans Poir. sering dihadapkan pada permasalahan serangan hama pemakan daun, yaitu hama ulat grayak Spodoptera sp.. Umumnya petani sayur menggunakan pestisida sintetik untuk mengatasi permasalahan tersebut. Tetapi penggunaan secara terus menerus pestisida sintetik menimbulkan dampak negatif untuk lingkungan dan kesehatan. Upaya pengendalian hama yang ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan dipandang sangat perlu dilakukan. Salah satu upaya tersebut adalah penggunaan pestisida berbahan alami yang berasal dari tumbuhan atau biopestisida. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan konsentrasi ekstrak daun pepaya Carica papaya L. terbaik sebagai biopestisida terhadap ulat grayak pada tanaman kangkung darat. Penelitian dirancang dalam Rancangan Acak Kelompok RAK, terdiri dari empat konsentrasi ekstrak daun pepaya 0, 25, 50, dan 75%. Masing-masing perlakuan terdiri dari lima ulangan. Adapun parameter yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah daun, panjang dan jumlah akar, dan presentase luas daun yang rusak serta keadaan visual tanaman. Hasil penelitian memperlihatkan bila konsentrasi ekstrak daun pepaya yang terbaik sebagai biopestisida terhadap ulat grayak pada tanaman kangkung darat adalah 75%. Hal ini terlihat dari luasan daun yang rusak akibat ulat grayak hanya mencapai Persentase ekstrak daun pepaya terbaik sebagai biofertilizer adalah 25% untuk tinggi tanaman, jumlah daun, dan jumlah akar. Perlakuan dengan penambahan ekstrak daun ppepaya menghasilkan tanaman yang lebih vigor dan berdaun lebih hijau dari kontrol.... Salah satu tanaman yang banyak dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional adalah secang Caesalpinia sappan L. Tanaman kayu secang dimanfaatkan oleh masyarakat adalah kayu dalam bentuk bubuk kayu. Bagian yang dimanfaatkan dari kayu secang adalah batang yang mengandung senyawa-senyawa metabolit sekunder seperti flavonoid, saponin, alkohol, fenolik dan brazilin Rezali et al., 2020, tanin Elvie et al., 2013. Tanin umumnya menurunkan kemampuan makan binatang dan serangga, mencegah pembusukan daun, sebagai zat astringent yang dapat menyusutkan jaringan dan menutup struktur protein kulit dan mukosa Elvie et al., 2013, dan mengganggu sistem pencernaan serangga Lapida, 2016. ...... Bagian yang dimanfaatkan dari kayu secang adalah batang yang mengandung senyawa-senyawa metabolit sekunder seperti flavonoid, saponin, alkohol, fenolik dan brazilin Rezali et al., 2020, tanin Elvie et al., 2013. Tanin umumnya menurunkan kemampuan makan binatang dan serangga, mencegah pembusukan daun, sebagai zat astringent yang dapat menyusutkan jaringan dan menutup struktur protein kulit dan mukosa Elvie et al., 2013, dan mengganggu sistem pencernaan serangga Lapida, 2016. ...Spodoptera frugiperda is a new pest on maize plants in Indonesia that attacks the leaves and corn cobs. Secang wood has the potential as a vegetable pesticide because it contains active compounds. The purpose of this study was to determine the potency of sappan wood Caesalpinia sappan L. on the mortality of corn caterpillar S. frugiperda in the laboratory. This study used a completely randomized design CRD with 6 six treatments which were repeated 4 four times. The treatments were P0 without application of sappan wood, P1 application of sappan wood 1 g/L of water, P2 application of sappan wood 2 g/L of water, P3 application of sappan wood 3 g/L of water, P4 application of sappan wood 4 g/L water, P5 application of sappan wood 5 g/L water. The method used includes testing the feed spray method and larva body spray. The results showed that the 5 g/L water treatment showed a mortality percentage of 30% with the feed spray method and 22 ,5% by larva body spray method.... Berbagai pestisida nabati terbuat dari daun, akar, rimpang, batang dan biji tumbuhan Indiati, 2017. Pestisida alami dari daun pepaya dan umbi bawang putih menunjukkan semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun pepaya dan umbi bawang putih tingkat kematian hama uji meningkat Yennie & Elystia, 2013. ...Nugraheni Hadiyanti Rasyadan ProbojatiRyan Edy SaputraVegetable pesticides are one of the agricultural inputs that are supportive of organic farming systems. Plants that have characteristics such as taste, smell, secondary metabolites can use as vegetable pesticides. Plants commonly used for vegetable pesticides include papaya, soursop, tobacco. The advantages of vegetable pesticides are cheap materials, simple processing, chemical-free, and environmentally friendly. The mortality rate of pests, diseases, and weeds by spraying botanical pesticides varies depending on the type of plant material, the life phase of the pest/disease/weed, and environmental conditions. This counseling and training activity, spearheaded by the Community Service Team of the Faculty of Agriculture, Kadiri University, collaborates with the local village government. This activity aims to socialize vegetable pesticides to control shallot pests in Ngumpul Village, Nganjuk Regency. The applications of organic farming systems using vegetable pesticides in the cultivation of shallots will increase yields and healthy products. Fulfilling the need for organic fertilizers and vegetable pesticides does not depend on the outside because the farmers are independent in producing them. In the future, vegetable pesticide products, in particular, can be a new opportunity to support the economy of farmers and society in nabati merupakan salah satu input pertanian yang sangat mendukung dalam sistem pertanian organik. Tumbuhan yang mempunyai ciri khas baik rasa, bau, senyawa metabolit sekunder dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan pestisida nabati. Tumbuh-tumbuhan yang biasa digunakan untuk bahan pembuatan pestisida nabati, antara lain pepaya, sirsak, tembakau. Kelebihan pestisida nabati adalah bahan murah, sederhana pengolahannya, bebas bahan kimia dan ramah lingkungan. Tingkat kematian hama, penyakit maupun gulma dengan penyemprotan pestisida nabati bervariasi tergantung dari jenis bahan tumbuhan, fase hidup hama/penyakit/gulma maupun kondisi lingkungan. Kegiatan penyuluhan dan pelatihan pembuatan pestisida nabati ini diinisiasi oleh Tim Pengabdian Masyarakat Fakultas Pertanian Universitas Kadiri bekerjasama dengan Pemerintah Desa setempat. Kegiatan ini bertujuan mensosialisasikan pestisida nabati dari daun papaya untuk mengendalikan hama pada tanaman bawang merah di Desa Ngumpul, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk. Penerapan sistem pertanian organik menggunakan pestisida nabati dalam budidaya tanaman bawang merah dapat meningkatkan hasil dan produk yang sehat. Pemenuhan kebutuhan pupuk organik maupun pestisida nabati tidak bergantung dari luar karena kemandirian petani dalam memproduksinya. Kedepannya produk pestisida nabati dapat menjadi peluang baru dalam menunjang perekonomian petani maupun masyarakat pada umumnya.... Me nurut lite ratur se makin tinggi konse ntrasi e kstrak bawang maka se makin tinggi bahan aktif yang dikandungnya se rta semakin tinggi pula daya bunuhnya. Se bagaimana hasil uji analisis fitokimia, bahwa se nyawa aktif yang te rdapat pada bawang yaitu alkaloid, flavonoid, saponin, tannin dan sulfur ba han aktif te rse but be rmanfaat digunakan sebagai pe stisida yang be rasal dari bahan alami [7]. Se hingga pe rlakuan de ngan e kstrak bawang bombay dapat me miliki mortalitas hama se be sar 100% jika me nambah konse ntrasi e kstrak bawang bombay te rse but. ... Adam Muhammad SyachMuhammad Yudha PrawiraIsna Mazidna AnnisaDan FaridahBioinsektisida merupakan insektisida generasi baru yang kini banyak dimanfaatkan sebagai pengendali populasi hama tanpa merusak lingkungan dan aman untuk dikonsumsi. Bioinsektisida dapat diperoleh dari jamur, bakteri, virus, maupun tumbuhan. Pada percobaan yang telah dilakukan, penulis menggunakan ekstrak bawang putih, merah, dan bombay sebagai pengendali hama pada tanaman kangkung air Ipomoea aquatica. Kangkung air ditanam secara hidroponik ke pada empat baki dengan masing-masing baki terdapat 6 tanaman kangkung air menggunakan medium AB Mix. Masing-masing baki diberi perlakuan penyemprotan ekstrak bawang putih, merah, bombay, serta kontrol dengan konsentrasi tiap ekstrak adalah 60%. Penyemprotan bioinsektisida dilakukan selama 9 hari dengan selang waktu penyemprotan selama 3 hari dengan pengamatan tiap 3 hari setelah penyemprotan. Diperoleh mortalitas hama pada baki kontrol 50%, baki bawang putih 100%, baki bawang merah 100%, dan baki bawang bombay 60%.... Tanin itu sendiri bekerja sebagai zat astrigent yang dapat menyusutkan jaringan dan menutup struktur protein pada kulit dan mukosa. Tanin umumnya tahan terhadap perombakan atau fermentasi, selain itu juga dapat menurunkan kemampuan binatang untuk mengkonsumsi tanaman 13 . ...Rinaldi DaswitoRima Folentia M. Yusuf MfOne of the diseases that can be transmitted by flies is diarrhea. Green betel leaf contains essential oils, chavicol, arecoline, phenol, and tannins which function as plant-based insecticides. This study aimed to determine the effectiveness of green betel leaf extract Piper betel as a plant-based insecticide on the number of mortality of house flies Musca domestica. The research was an experimental study used After Only Design used the One Way Anova test with a 95% confidence level. The samples used were 360 house flies. Each treatment of 30 house flies with 4 repetitions and used three concentrations of green betel leaf extract 25%, 50%, 75%. The study was conducted at the Chemistry and Microbiology Laboratory of Health Polytechnic Tanjungpinang, while the location of the fly collection was at the Tokojo Garbage Collection Station in Bintan Regency. The number of mortality of house flies at a concentration of 25% was 81 heads 50% concentrations were 93 heads and at a concentration of 75% were 103 heads There was an effect of green betel leaf extract on the mortality of house flies p-value , [Accessed 16 Juli 2012].Solvent Polarity and Miscibility, Avaible From J A ByersByers, 2003. Solvent Polarity and Miscibility, Avaible From , [Accessed 19 Agustus 2012].BudiyantoBudiyanto. 2012. Macam-macam pestisida, Avaible from , [Accessed 1 juli 2012].Naturally occuring compounds in Antimicrobial in FoodD E CornerCorner, D. E. 1995. Naturally occuring compounds in Antimicrobial in Food. Eds., by Davidson PM & Branen AL, Eds. Marcell Dekker, Inc., New York, pp. dan Aplikasinya, Agromedia pustakaP DjojosumartoDjojosumarto, P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya, Agromedia pustaka, daun mimba sebagai pestisida alamiDzakiyaDzakiya. 2009. Pemanfaatan daun mimba sebagai pestisida alami, Jurnal, Universitas Negeri Pestisda terhadap ekosistem, MakalahFatmawatiFatmawati. 2012. Dampak Pestisda terhadap ekosistem, Makalah, Universitas Haluoleo Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalis Tumbuhan, terbitan keduaJ B HarborneHarborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalis Tumbuhan, terbitan kedua, Bandung Fitokimia. Penuntun Cara Modern Menganalis TumbuhanJ B HarborneHarborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern Menganalis Tumbuhan. Bandung HayatHayat, F. 2010. Toksikologi Pestisida, Avaible From, [Accessed 18 Oktober 2012].Pengaruh Pestisida Organik Dan Interval Penyemprotan Terhadap Hama Plutella XylostellaHealthlinkHealthlink. 2000. Pengaruh Pestisida Organik Dan Interval Penyemprotan Terhadap Hama Plutella Xylostella, Skripsi, Handbook for the Fractionation of Natural ExtractsP J HoughtonA RamanChapmanHallLondonM JudoamidjojoA A DarwisE GumbiraHoughton, P. J., Raman, A. 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of Natural Extracts, Chapman and Hall, London. Judoamidjojo, M., Darwis, Gumbira, E. 1990. Teknologi Fermentasi. IPB. Bogor Kusumastanti, R., 2004. Pengaruh Ekstrak Biji Mimba Terhadap Penekanan Serangan Wereng Batang Padi Coklat, Skripsi, Universitas Tunas Pembangunan, SurakartaToksikan Nabati dalam MakananMakfoeldMakfoeld. 1983. Toksikan Nabati dalam Makanan, Liberty, Medicinal Agent From PlantF B ManuelK A DouglasManuel, F. B., Douglas, K. A. 1992. Human Medicinal Agent From Plant, American Chemical Society, Melawati. 2006. Optimasi Proses Maserasi Panili Vanilla planifolia A Hasil Modifikasi Proses Kuring, skripsi, IPB. Priyanto. U. 2007. Menghasilkan Biodiesel Jarak Pagar Berkualitas. Jakarta Agromedia Pustaka..Uji aktivitas antibakteri dari ekstrak air dan etanol bawang putih Allium sativum L. terhadap bakteri Gram negatif dan Gram positifRamadhaniRamadhani. 2009. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Daun Sukun Artocarpus altilis Terhadap Larva Artemia Salina Leach, Skripsi, Undip. Rustama, 2005. Uji aktivitas antibakteri dari ekstrak air dan etanol bawang putih Allium sativum L. terhadap bakteri Gram negatif dan Gram positif. Biotika. 2 antibakteri bawang putih Allium sativum terhadap bakteri mastitis subklinis secara in vitro ambing tikus putihM SafithriSafithri, M. 2004. Aktivitas antibakteri bawang putih Allium sativum terhadap bakteri mastitis subklinis secara in vitro ambing tikus putih, Bogor Sekolah pascasarjana, Institut Pertanian phenolics Sources, Chemistry, ApplicationsF ShahidiShahidi, F., M, Naczk. 1991. Food phenolics Sources, Chemistry, Applications. Technomic Publingshing Co. Bahan Makanan dan Pertanian. Kanisius. Yogyakarta Suryandari, S. 1981. Pengambilan Oleoresin Jahe dengan cara Solvent extraction, BBIHP, Bogor, 15 hal SuirtaHaryono SudarmadjiSuhardiSudarmadji, Haryono, Suhardi. 2003. Analisis Bahan Makanan dan Pertanian. Kanisius. Yogyakarta Suryandari, S. 1981. Pengambilan Oleoresin Jahe dengan cara Solvent extraction, BBIHP, Bogor, 15 hal Suirta. 2007. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Aktif Larvasida Dari Biji Mimba Terhadap Larva Nyamuk, Skripsi, Universitas Udayana, Bukit of PesticidesG W WareWare, 1982. Fundamentals of Pesticides. ASelf Intruction Guide, Thomson Publications, 357p.
Denganmenggunakan modal lebih kurang Rp 200 ribu yang dibelikan roti tawar, minuman anak-anak, minyak angin, obat sakit kepala, lem dan sabu yang dicairkan pria ini dapat memproduksi pil ekstasi
This study aimed to create nano vegetable tanning materials of acacia bark extract. The process started with size reduction of acacia bark mm x mm x mm, followed by counter current extraction of acacia bark with water at 80ÂșC with 13 bark to water ratio in order to obtain extracts with density of 9-10ÂșBe. Drying was done with a spray dryer. Particle size of the resulting powders was measured with particle size analyzer. Planetary ball mill was used for 6 hours to obtain average particle size of nm. A variety of vegetable tanning materials were applied in the vegetable tanning process with varied concentrations of 15, 20, and 25%. The use of 25% nano vegetable tanning material of acacia bark extract gave the best results compared to liquid extract of acacia bark and mimosa. The properties of the leather obtained were tensile strength of kg/cm2, elongation at break of 50%, shrinkage temperature of 84oC, and degree of tannage of Content may be subject to copyright. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 15PEMBUATAN BAHAN PENYAMAK NANO ..................................... Herminiwati et al.PEMBUATAN BAHAN PENYAMAK NANO NABATI DAN APLIKASINYA DALAM PENYAMAKAN KULITMANUFACTURING OF NANO VEGETABLE TANNING MATERIALS AND ITS APPLICATION IN LEATHER TANNINGHerminiwati*, Sri Waskito, Christiana Maria Herry Purwanti, Prayitno, Dwi NingsihBalai Besar Kulit, Karet, dan Plastik, Jl. Sokonandi No. 9, Yogyakarta 55166, Indonesia*Penulis korespondensi. Telp. +62 274 512929, 563939; Fax. +62 274 563655 E-mail herminiwati 3 Maret 2014 Direvisi 25 Mei 2015 Disetujui 1 Juni 2015ABSTRACTThis study aimed to create nano vegetable tanning materials of acacia bark extract. The process started with size reduction of acacia bark mm x mm x mm, followed by counter current extraction of acacia bark with water at 80ÂșC with 13 bark to water ratio in order to obtain extracts with density of 9-10ÂșBe. Drying was done with a spray dryer. Particle size of the resulting powders was measured with particle size analyzer. Planetary ball mill was used for 6 hours to obtain average particle size of nm. A variety of vegetable tanning materials were applied in the vegetable tanning process with varied concentrations of 15, 20, and 25%. The use of 25% nano vegetable tanning material of acacia bark extract gave the best results compared to liquid extract of acacia bark and mimosa. The properties of the leather obtained were tensile strength of kg/cm2, elongation at break of 50%, shrinkage temperature of 84oC, and degree of tannage of Keywords vegetable tanning material, nano particle, acacia bark, extraction, planetary ball ini bertujuan untuk membuat bahan penyamak nano nabati dari ekstrak kulit kayu akasia. Proses pembuatannya dilakukan melalui tahapan pengecilan ukuran kulit kayu akasia 16,7 mm x 4,9 mm x 1,8 mm, dilanjutkan dengan ekstraksi kulit kayu akasia secara counter current menggunakan air 13 dengan suhu air awal 80ÂșC sehingga diperoleh ekstrak dengan densitas 9-10ÂșBe. Pengeringan dilakukan dengan spray dryer. Serbuk hasil spray dryer diukur partikelnya dengan particel size analyzer, kemudian diteruskan dengan pengecilan ukuran menggunakan planetary ball mill selama 6 jam sehingga diperoleh partikel berukuran rata-rata 72,9 nm. Berbagai bahan penyamak nabati diaplikasikan dalam proses penyamakan nabati pada kadar 15, 20, dan 25%. Penggunaan ekstrak nano nabati kulit kayu akasia sebesar 25% memberikan hasil terbaik dibanding ekstrak cair kulit kayu akasia maupun mimosa impor. Kulit tersamak yang dihasilkan memiliki kuat tarik sebesar 27,04 kg/cm2, kemuluran sebesar 50%, suhu kerut sebesar 84oC, dan derajat penyamakan sebesar 79,65%. Kata kunci bahan penyamak nabati, partikel nano, kulit kayu akasia, ekstraksi, planetary ball Penyamakan adalah proses konversi pro-tein kulit mentah menjadi kulit tersamak yang sta-bil, tidak mudah membusuk, dan cocok untuk be-ragam ke gunaan. Penyamakan biasanya dilakukan dengan garam basa krom trivalen. Reaksi garam-garam krom dengan grup karboksilat dari protein kulit kolagen menjadikan kulit tersebut memiliki stabi litas hidrotermal tinggi, yaitu memiliki suhu penge rutan lebih tinggi dari 100oC, dan tahan ter-hadap serangan mikroorganisme Albet, 2013.Saat ini hampir semua industri kulit dunia memproses penyamakannya dengan mengguna-kan bahan penyamak mineral krom sulfat, yang merupakan konsekuensi kemudahan proses, kelu-asan kegunaan produk, dan keunggulan dari sifat-sifat kulit yang dihasilkan Valeika et al., 2010. Namun di sisi lain bahan penyamak tersebut juga sangat berkontribusi sebagai penyebab terjadinya pencemaran lingkungan. Tidak terkecuali di In-donesia, sampai saat ini limbah hasil dari industri penyamakan kulit, dikategorikan sebagai limbah 16MAJALAH KULIT, KARET, DAN PLASTIK Vol. 31 No. 1 Juni Tahun 2015 15-22B3 yang membahayakan bagi makhluk hidup dan lingkungan. Limbah krom merupakan limbah B3 karena merupakan logam berat yang tidak dapat terdegradasi dan akan terakumulasi di dalam ta-nah. Saat ini konsumen produk kulit khususnya produk kulit ekspor mengarah pada permintaan kulit samak nabati, dengan pertimbangan pro-duknya ramah lingkungan. Bahan penyamak naba-ti secara luas digunakan untuk proses penyamakanulang pada produksi kulit upper leather dari kulit sapi, kambing, dan domba. Bahan penyamak na-bati juga digunakan sebagai bahan mordan untuk produksi kulit kras yang disamak krom. Bahan penyamak nabati merupakan senyawa organik hasil ekstrak bahan nabati dari kulit, akar, batang, daun, dan buah. Bahan-bahan penyamak tersebut berbentuk puder yang sampai saat ini ma-sih diimpor. Bahan penyamak nabati terdiri dari tanin bahan penyamak, non-tanin dan senyawa-senyawa lain yang tidak adalah campuran polifenol yang dalam tumbuhan membentuk glikosida yang jika ter-hidrolis terurai menjadi aglikon dan glikon. Tanin bersifat polar dalam bentuk glikosidanya. Tanin juga mengendap dengan protein dan logam-logam berat. Kedua sifat ini sangat berpengaruh terhadap cara ekstraksi dan identiîżkasi senyawa tanin Su-parno et al., 2011. Bahan penyamak tanin dapat dilarutkan dalam air, alkohol, aseton, tetapi tidak larut dalam benzene, kloroform, dan pelarut or-ganik dari petroleum eter. Tanin yang dilarutkan dalam air akan bermuatan listrik negatif dan akan teroksidasi dalam larutan alkali yang berubah war-na menjadi hitam Haron et al., 2012.Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyamakan dengan menggunakan tanin meli-puti kondisi dari kulit pelt, ukuran partikel, pH, kandungan garam dan asam, dan konsentrasi ba-han penyamak Prayitno, 2013. Jumlah tanin yang menembus dan bergabung dengan bahan ku-lit, sangat dipengaruhi oleh konsentrasi nyata dari larutan penyamak yang kontak dengan serat kulit. Pada awal dari proses penyamakan jumlah tanin di larutan akan lebih tinggi dengan bahan penya-mak di dalam serat sehingga penetrasi akan lebih penyamak nabati di pasaran biasanya berbentuk puder dari hasil cairan ekstrak dengan kandungan bahan penyamak 5-7,5% dikondensa-sikan ke dalam bentuk koloid yang mempunyai berat jenis relatif 1,2-1,6 dengan menggunakan peralatan penguapan, yang dilanjutkan dengan spray dryer. Ekstrak puder bahan penyamak na-bati masih mempunyai ukuran partikel yang ma-sih besar karena bahan bakunya berbentuk koloid, dengan ukuran partikel dari 1 ”m sampai dengan 100 ”m Ardhiany, 2011. Dengan kondisi ukuran partikel besar, maka akan mempengaruhi kecepa-tan difusi bahan penyamak nabati ke dalam serat kulit, sehingga waktu proses yang diperlukan pada penyamakan nabati semakin lama dan sisa bahan penyamak nabati yang ada di limbah cair sema-kin banyak. Bahan penyamak nabati akan bereaksi dengan oksigen atmosfer, terutama pada pH yang tinggi untuk membentuk kuinon untuk kelompok gugus -OH yang bersifat orto-para satu sama lain Sreeram et al., 2013.Proses penyamakan nabati secara konvensio-nal memerlukan waktu relatif lama sehingga tidak efektif disamping juga sulit diperoleh zat penya-mak yang konsisten, padahal bahan penyamak na-bati memerlukan konsentrasi yang sesuai. Ukuran partikel bahan penyamak nabati ben-tuk puder sangat penting karena ukuran partikel yang kecil akan memberikan kecepatan proses dan difusinya. Pendekatan nanoteknologi memung-kinkan dibuatnya bahan penyamak nabati yang mempunyai partikel nano. Yang dimaksud parti-kel nano adalah partikel yang berukuran lebih ke-cil dari 100 nm. Ada dua cara pembentukan partikel nano Tauîżqurrahman, 2009 yaitu, pertama bottom up, material dibuat dengan menyusun dan mengon-trol atom demi atom atau molekul demi molekul sehingga menjadi suatu bahan yang memenuhi suatu fungsi tertentu yang diinginkan, kedua top down, bulk material dihancurkan dan dihaluskan sedemikian rupa sampai berukuran nano meter, kemudian dari partikel halus yang diperoleh, di-buat material baru yang mempunyai sifat-sifat dan performance yang lebih baik dan berbeda dengan bulk material ukuran dapat dilakukan dengan alat-alat seperti high energy milling HEM, pla-netary ball mill PBM, dan lain-lain. Dengan pertimbangan di atas, maka perlu diteliti pembua-tan bahan penyamak nano nabati dari bahan kulit kayu akasia karena pohon akasia mudah tumbuh di Indonesia dan mempunyai potensi yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk membuat bahan penyamak nabati yang berbentuk puder berukuran nanometer agar penetrasinya ke dalam jaringan kolagen kulit lebih baik. 17PEMBUATAN BAHAN PENYAMAK NANO ..................................... Herminiwati et al.BAHAN DAN METODEBahan Penelitian Bahan penelitian terdiri atas kulit kayu aka-sia Acacia mangium, kulit domba awet gara-man, dan mimosa puder ME Brand Cekoslovakia. Bahan kimia pengujian untuk bahan penyamak nabati yaitu Xylol, ZnSO4, NaOH, HCl, H2SO4. Bahan kimia untuk aplikasi penyamakan diantara-nya Teepol, kapur, natrium sulîżda, bating agent, degreasing agent, asam sulfat, garam dapur, fat-liquoring agent, asam formiat, retanning agent, dyestuff, anti jamur, pigmen, binder, lacquer emul-sion, dan PenelitianCrusher, termometer, Baume meter, pH meter, spray dryer, planetary ball mill PBM, particle size analyzer PSA, timbangan analitis, saringan, dan drum PenelitianPembuatan puder bahan penyamak nabati Kulit kayu akasia dengan panjang 5-7 cm dikecilkan ukurannya dengan menggunakan me-sin crusher dan mesin grinder hingga didapatkan kulit kayu akasia dengan ukuran kasar panjang p=16,7 mm, lebar l=4,7 mm, tebal t=1,8 mm dan ukuran halus 60 mesh. Kemudian kulit kayu akasia diekstraksi secara counter current. Dari proses ekstraksi dapat diketahui proses yang ter-baik dengan kadar tanin yang tertinggi. Pembua-tan puder hasil proses ekstraksi dilakukan dengan menggunakan spray dryer di Fakultas Teknologi Pertanian puder nano bahan penyamak na-batiPartikel puder hasil spray dryer diproses dengan menggunakan PBM sehingga diperoleh partikel nano lebih kecil dari 100 nm. Untuk memastikan ukuran partikel nano kemudian di-lakukan uji ukuran partikel dengan menggunakan PSA di Laboratorium Nanotech Serpong. Proses pembuatan bahan penyamak nano nabati terlihat pada Gambar partikel nano pada proses penyamak-an nabatiPartikel nano yang diperoleh dari PBM diap-likasikan dalam proses penyamakan nabati dengan matriks penelitian seperti terlihat pada Tabel 1. Gambar 1. Diagram proses pembuatan bahan pe-nyamak nano UKURAN DENGAN CRUSHER PERENDAMAN 24 JAM AIRKULIT KAYU = 31 PEMBUATAN PARTIKEL NANO DENGAN PBM PENGERINGAN DENGANSPRAY DRIER SERBUK BAHAN PENYAMAK NABATI POTONGAN KULIT KAYU AKASIA Uji Kadar Tanin & Ukuran Partikel POTONGAN KULIT KAYU AKASIA TERTIMBANG 5 KG BAHAN PENYAMAK NANO NABATI Jenis bahan penyamakPersentase bahan penyamak15% 20% 25%Nano vegetable tanning materials ENEN15 EN20 EN25Cairan ekstrak akasia L L15 L20 L25Mimosa sebagai kontrol M M15 M20 M25Tabel 1. Matriks aplikasi nano vegetable tanning materials untuk penyamakan kulit. 18MAJALAH KULIT, KARET, DAN PLASTIK Vol. 31 No. 1 Juni Tahun 2015 15-22Untuk menentukan kadar dan jenis bahan penyamak terbaik diuji berdasarkan derajat pe-nyamakan, suhu kerut, kuat tarik, dan DAN PEMBAHASANIdentiîżkasi Kulit Kayu AkasiaIdentiîżkasi kulit kayu akasia meliputi pengu-jian kadar air dan kadar total larut dilaksanakan menurut SNI 06-6051-1999. Hasil identiîżkasi 2 jenis ukuran kulit kayu akasia yang akan diekstrak disampaikan pada Tabel nilai kadar air, maka ukuran kulit kayu akasia kasar menunjukkan nilai kadar air lebih tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena pengecilan ukuran menguapkan air yang ada di jaringan kayu. Pengecilan ukuran menjadi serbuk halus berukuran 60 mesh menyebabkan luas permukaan kulit kayu akasia lebih luas. Akibatnya terjadi penguapan yang lebih besar sehingga kadar airnya kecil. Adapun kadar total larut dan ekstrak pada pada kulit kayu akasia halus lebih rendah karena ukuran kulit kayu lebih kecil sehingga jumlah bahan yang dapat diekstrak dan dilarutkan lebih sedikit, akibatnya nilai kadar ekstrak dan total larut lebih rendah dibanding kulit kayu akasia ukuran kasar pada berat kulit kayu akasia yang sama. Terlihat bahwa kadar total larut ukuran halus 90,71% dan ukuran kasar 95,72%, sementara kadar total ekstrak ukuran halus 150,51 g/kg dan ukuran kasar 136,15 g/ Ekstraksi Zat Penyamak dari Kulit Kayu AkasiaProses ekstraksi zat penyamak dari kulit kayu akasia dengan sistem counter current mengguna-kan air dengan suhu awal 80oC dilanjutkan dengan ekstraksi menggunakan air pada suhu kamar; ukur-an partikel babakan halus 60 mesh ± 3 mm dan ukuran partikel babakan kasar p=16,7 mm, l=4,7 mm, t=1,8 mm. Perbandingan kulit kayu akasia dengan pelarut sebesar 13; dan waktu ekstraksi 24 jam. Hasil ekstraksi berupa cairan kental berwarna coklat kehitaman dengan densitas 6oBe. Cairan ini kemudian diuapkan dalam waterbath hingga dida-patkan densitas 9-10oBe yang siap untuk dispray dryer. Hasil ekstrasi zat penyamak dari kulit kayu akasia seperti pada Tabel pelaksanaan ekstraksi 2 jenis ukuran kulit kayu akasia dan data hasil ekstraksi seperti pada Tabel 3 dapat diketahui bahwa cairan ekstrak yang diperoleh mempunyai jumlah ekstrak yang hampir sama yaitu 3,8 liter dan 3,7 liter dengan densitas 9-10ÂșBe. Cairan ekstrak babakan ha-lus maupun kasar menunjukkan hasil yang tidak terlalu berbeda. Ini berarti bahwa cairan ekstrak dapat tertiriskan relatif baik, untuk ukuran halus maupun kasar. Proses Puderisasi Ekstrak Babakan Kulit Kayu Akasia dengan Spray DryerProses puderisasi ekstrak kayu akasia dilaku-kan dengan menggunakan spray dryer. Selanjut-Tabel 2. Hasil identiîżkasi dari 2 jenis ukuran kulit kayu identiîżkasi Kulit kayu akasia ukuran halus Kulit kayu akasia ukuran kasarUkuran babakan 60 mesh ± 3 mm p=16,7 mm; l=4,7 mm; t=1,8 mmKadar air 11,76% 15,17%Kadar total larut 90,71% 95,72%Kadar total ekstrak 150,51 g/kg 136,15 g/kgTabel 3. Hasil ekstraksi dari 2 jenis ukuran kulit kayu akasia. Ukuran babakan kulit kayu akasia Jumlah kulit kayu akasia kgJumlah cairan ekstrakliterBabakan halus 60 mesh ± 3 mm5 kg 3,8 liter; 9-10ÂșBeBabakan kasar p=16,7 mm, l=4,7 mm, t=1,8 kg 3,7 liter; 9-10ÂșBe 19PEMBUATAN BAHAN PENYAMAK NANO ..................................... Herminiwati et al.nya dari puder bahan penyamak nabati dari kulit kayu akasia dilakukan pengujian kadar tanin. Ha-sil puder dari ekstrak kulit kayu akasia dan kadar tanin dapat dilihat pada Tabel Tabel 4 dapat diketahui bahwa jumlah ekstrak yang diperoleh dari ekstraksi nilainya hampir sama tetapi kadar tanin dari ukuran baba-kan kasar lebih tinggi dibandingkan kadar tanin dari ukuran babakan halus. Hal ini dipengaruhi oleh besarnya kadar total larut dan ekstrak baba-kan kasar yang lebih tinggi. Maka untuk penelitian dipilih bahwa proses ekstraksi kulit kayu akasia dilakukan dengan ukuran babakan kasar yaitu 16,7 mm x 4,9 mm x 1,8 mm karena kadar tanin yang dihasilkan lebih besar dan prosesnya lebih seder-hana dalam penyiapan kulit kayu akasia. Suhu air pada awal ekstraksi 80oC, untuk proses ekstraksi selanjutnya pada suhu kamar. Perbandingan kulit kayu akasia air adalah 13 dengan pertimbangan kulit kayu dapat terendam dengan baik. Proses puderisasi dilakukan dengan alat spray dryer ka-rena jika dilakukan dengan proses pengeringan menggunakan oven memerlukan waktu lama dan tidak eîż Bubuk Puder dengan Spray Dryer dan Pengujian Kadar TaninDari hasil pembuatan bahan penyamak na-bati yang berbentuk puder dari kulit kayu akasia, kemudian diuji kadar tanin dengan menggunakan metode SNI 06-6051-1999 Cara uji bahan penya-mak Tabel 5 dapat diketahui bahwa kadar ta-nin pada puder bahan penyamak nabati penelitian sebesar 53,656 % , dan hal ini menunjukkan bahwa mutu bahan penyamak nabati penelitian setingkat dengan bahan penyamak nabati impor Mimosa puder dengan kadar tanin sebesar 53,51%.Pembuatan Bahan Penyamak Nano Nabati dan Pengujian Ukuran Partikel Pembuatan partikel nano dari bahan penya-mak nabati puder dilakukan dengan menggunakan sistem PBM dan selanjutnya dilakukan pengujian ukuran partikel dengan PSA. Hasil nano nabati yang dibuat tertera pada Tabel hasil uji ukuran partikel dari ba-han penyamak nabati berupa ekstrak cair masih mempunyai ukuran partikel tinggi sebesar 858,7 nm. Setelah dikeringkan dengan spray dryer ter-jadi penurunan ukuran menjadi 312 nm. Untuk membuat partikel nano maka dilakukan pengecil-an ukuran dengan PBM sehingga diperoleh par-tikel dengan ukuran 72,9 nm. Adapun Mimosa pasaran impor meskipun telah mempunyai ukur-an kecil, namun ukuran partikelya masih lebih tinggi dibanding bahan penyamak nanonabati ha-sil penelitian. Tabel 4. Hasil puder dan kadar tanin dari ekstrak kulit kayu kulit kayu akasiaVolume ekstrakliterJumlah puder gramJumlah ampas gramKadar tanin %Ukuran babakan halus 5 kg3,8 162 130 50,71%Ukuran babakan kasar 5 kg3,7 153 78 52,59%Tabel 5. Hasil puderisasi ekstrak kulit kayu penyamak nabati Kadar taninNabati puder penelitian 53,656 %Cairan ekstrak penelitian 65,35 %Mimosa puder ME Brand Ex-tract pasaran buatan Ceko-slowakia53,513 %Tabel 6. Ukuran partikel bahan penyamak bahan penyamak Ukuran partikel, nmMimosa puder pasaran im-por100,5Bahan penyamak nabati pene-litian Hasil spray dryer312,0Bahan penyamak nabati pene-litian hasil PBM72,9Ekstrak liquid 858,7 20MAJALAH KULIT, KARET, DAN PLASTIK Vol. 31 No. 1 Juni Tahun 2015 15-22Aplikasi Bahan Penyamak Nano NabatiBahan penyamak nano nabati dari hasil pe-nelitian diaplikasikan pada proses penyamakan kulit domba. Jumlah pemakaian bahan penyamak nabati dilakukan pada kadar 15%, 20%, dan 25%. Adapun sebagai kontrol digunakan bahan penya-mak nabati impor yang terbuat dari eks-trak kulit kayu akasia yaitu Mimosa puder ME brand ex-tract, dilakukan secara bertahap dalam drum penelitian dengan waktu penyamakan 4 jam pada pH 3,5-4. Untuk menentukan mutu produk dilakukan uji suhu kerut, derajat penyamakan, kuat tarik, dan kemuluran. Hasil aplikasi bahan penyamak nabati ter-hadap suhu pengerutan tertera pada Tabel 7. Ditin-jau dari suhu kerut, maka semua bahan penyamak yang digunakan menunjukkan suhu kerut yang baik. Menurut Duki et al. 2013, suhu pengkerut-an berkisar antara 70-85ÂșC. Pada semua kadar ba-han penyamak mulai dari 15% sampai 25% untuk semua jenis bahan penyamak baik Mimosa ekstrak impor, ekstrak cair kulit kayu akasia dan ekstrak puder nano kulit kayu akasia menunjukkan suhu kerut yang baik. Hal ini berarti bahwa penggunaan kadar bahan penyamak nabati 15% sampai 25% akan memberikan suhu kerut yang tinggi. Suhu pengerutan menunjukkan besarnya zat penyamak yang masuk ke dalam serat kulit sehingga kulit bersifat padat dan lentur atau îeksibel. Untuk eks-trak puder nano mulai kadar 15% menunjukkan suhu kerut yang lebih tinggi dibanding ekstrak kulit kayu akasia puder impor maupun ekstrak cair kulit kayu akasia. Adapun ekstrak kulit kayu akasia bentuk puder impor Mimosa memberikan suhu pengerutan lebih rendah dibanding ekstrak puder dengan ukuran partikel nano hasil peneli-tian pada kadar 15%. Hal ini membuktikan bahwa bahan penyamak nabati berukuran nano dapat ter-dispersi lebih baik ke dalam jaringan kulit. Hasil aplikasi bahan penyamak nabati ter-hadap derajat penyamakan tertera pada Tabel 8. Dari hasil uji derajat penyamakan dapat dilihat bahwa berdasarkan analisa statistik pada peng-gunaan berbagai jenis bahan penyamak nabati Mimosa puder impor, ekstrak cair dari kulit kayu akasia dan puder nano nabati kulit kayu akasia dengan kadar masing-masing 15%, 20%, dan 25% menunjukkan hasil derajat penyamakan yang ber-beda nyata p †0,05. Ditinjau dari nilai derajat penyamakan, maka ekstrak cair kulit kayu akasia 25% memberikan nilai tertinggi sebesar 80,06%. Meskipun ekstrak cair dari kulit kayu akasia memberikan nilai derajat penyamakan yang relatif baik, namun nampak bahwa nilainya tidak konsis-ten. Nilai derajat penyamakannya tidak semakin meningkat dengan makin banyaknya kadar bahan penyamak yang digunakan. Hal ini tidak seperti bahan penyamak ekstrak nano nabati yang dibuat. Derajat penyamakan merupakan indikator ba-nyaknya tanin yang masuk/terikat pada kulit se-hingga menjadi masak lemas/îeksibel meski dalam keadaan kering. Kalau kulit tidak masak, tetap kaku walau diberi minyak karena minyak tidak bisa masuk. Dibanding Mimosa puder impor, maka ekstrak Tabel 7. Hasil uji suhu pengerutan dari bahan pe-nyamak bahan penyamakKadar bahan penyamak%Suhu pengerutanÂșCM 15 73 g20 80 d25 79 eL 15 77 f20 85 a25 85 aEN 15 82,5 c20 84 b25 84 bKeterangan angka-angka sekolom diikuti huruf sama tidak berbeda nyata menurut DMRT pada α=5%.Tabel 8. Hasil uji derajat penyamakan dari bahan penyamak bahan penyamakKadar bahan penyamak%Derajat Penyamakan%M 15 47,51g20 70,64 e25 64,69 fL 15 76,94 c20 75,43 d25 80,06 aEN 15 76,32 c20 78,66 b25 79,65 aKeterangan angka-angka sekolom diikuti huruf sama tidak berbeda nyata menurut DMRT pada α=5%. 21PEMBUATAN BAHAN PENYAMAK NANO ..................................... Herminiwati et al.nano hasil penelitian mempunyai derajat penya-makan yang lebih baik. Hal ini dapat disebabkan karena ukuran partikel nano dari bahan penyamak yang dihasilkan rata-rata lebih kecil sebesar 72,9 nm dibanding Mimosa puder impor yang rata-rata berukuran partikel 100,5 nm. Akibatnya dispersi tanin ke dalam jaringan kulit yang disamak lebih mudah dan lebih baik sehingga derajat penyama-kannya lebih tinggi. Berdasar SNI 06-0237-1989 Kulit lapis kambing/domba, maka derajat penyamakan un-tuk kulit samak nabati ditetapkan sebesar minimal 50%. Ditinjau dari derajat penyamakan maka ba-han penyamak nano nabati menunjukkan derajat penyamakan yang baik dan memenuhi persyarat-an. Makin tinggi kadar bahan penyamak nano nabati yakni sampai kadar 25%, menunjukkan nilai yang semakin meningkat. Sebaliknya ekstrak cair penyamak nabati nilainya tidak konsisten se-iring dengan peningkatan kadar bahan penyamak. Keadaan ini membuktikan bahwa penggunaan se-cara konvensional bahan penyamak nabati secara ekstrak cair memberikan mutu yang tidak kon-sisten, selain itu juga tidak praktis karena harus mengekstrak kulit kayu akasia terlebih dulu untuk mendapatkan taninnya. Menurut Purnomo 1985, pembuatan ekstrak puder kulit kayu akasia di luar negeri dilakukan dengan cara memekatkan ekstrak kulit kayu aka-sia hingga densitas 23-25oBe dilanjutkan penge-ringan dalam karung sehingga didapatkan bong-kahan kering. Penggunaan suhu yang tidak terlalu tinggi menyebabkan tanin tidak mengalami pe-rubahan sehingga mudah larut dalam air. Dari Tabel 9 nampak bahwa bahan penyamak nano nabati dari kulit kayu pohon akasia mem-berikan hasil terbaik. Penggunaan 25% serbuk nano nabati memberikan nilai kuat tarik tertinggi sebesar 27,04 kg/cm2. Hal ini membuktikan bah-wa bahan penyamak nano nabati dapat terdispersi dengan lebih baik dan merata ke dalam jaringan kulit. Akibatnya kulit yang disamak dengan bahan penyamak nano nabati lebih kuat dan padat. Kemuluran kulit yang disamak dengan ba-han penyamak nano nabati juga memberikan hasil yang baik dan tidak berbeda nyata dengan bahan penyamak lainnya, kulit tidak keras dan getas. Bahan penyamak nabati yang berupa tanin da-pat berikatan dengan kolagen pada jaringan kulit membentuk ikatan silang dengan struktur seperti terlihat pada Gambar berikatan dengan gugus-gugus aktif seperti hidroksil, karboksil dan grup amino di kolagen dalam jaringan kulit. Ikatan-ikatan yang terbentuk mengakibatkan kulit menjadi kuat dan padat. Bahan penyamak nano nabati menunjukkan nilai kuat tarik dan kemuluran yang baik diband-ing bahan penyamak nabati Mimosa impor dan ekstrak cair kulit kayu dari tingkat kemasakan kulit dan kekuatannya, maka penggunaan bahan penyamak nabati dengan partikel nano sebesar 25% mem-berikan hasil terbaik. KESIMPULAN Telah dihasilkan bahan penyamak nano naba-ti dengan ukuran partikel rata-rata 72,9 nm. Pem-buatan bahan penyamak nano nabati dilakukan melalui tahapan pengecilan ukuran kulit kayu aka-sia, ekstraksi tanin, puderisasi dengan spray dryer, dan pengecilan ukuran partikel dengan planetary ball penyamak nabati sangat diperlukan karena adanya tuntutan baik produk maupun Tabel 9. Hasil uji kuat tarik dan kemuluran dari bahan penyamak Perpanjangan,%Kuat tarik,kg/cm2M25 52,00 14,98M20 48,00 11,46M15 43,33 16,94L25 40,00 16,78L20 49,33 11,31L15 57,33 19,26EN25 50,00 27,04EN20 48,67 25,58EN15 49,33 14,40Gambar 2. Ikatan silang yang terjadi antara tanin dan kolagen jaringan kulit Hsu, 2013.kolagen 22MAJALAH KULIT, KARET, DAN PLASTIK Vol. 31 No. 1 Juni Tahun 2015 15-22proses yang ramah lingkungan dikarenakan bahan penyamak krom yang umumnya digunakan me-nimbulkan pencemaran lingkungan berupa limbah aplikasinya untuk penyamakan kulit diperoleh hasil bahwa bahan penyamak nano na-bati puder memberikan hasil lebih baik dibanding ekstrak cair kulit kayu akasia dan mimosa impor. Dengan pemakaian bahan penyamak nano nabati 25% diperoleh hasil kulit jadi dengan kuat tarik terbaik sebesar 27,04 kg/cm2 dan kemuluran sebe-sar 50%, suhu kerut sebesar 84oC serta derajat pe-nyamakan sebesar 79,65%. Bahan penyamak nano nabati puder yang dihasilkan dapat mensubstitusi bahan penyamak nabati TERIMA KASIHPenulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik atas izin penggunaan fasilitas penelitian dan kepada semua îżhak yang telah membantu proses, pengu-jian, dan pembahasan penelitian PUSTAKAAlbet, R. 2013. Cara penyamakan kulit ramah ling-kungan. Jakarta, Indonesia Badan Pengendalian Dampak J. 2011. Dasar teknologi dan kimia kulit. Bandung, Indonesia Badan Standardisasi Nasional. 1989. Standar Nasional Indonesia SNI 06-0237-1989 Kulit la-pis kambing/domba. Jakarta, Indonesia Badan Standardisasi Nasional. 1999. Stan-dar Nasional Indonesia SNI 06-6051-1999 Cara uji bahan penyamak nabati. Jakarta, Indonesia A., Antunes, A. P. M., Covington, A. D., & Guthrie-Stachan, J. 2013. The stability of metal-tanned and semi-metal tanned collagen. In XXXII Congress of IULTCS. Istanbul, Turkey M. A., Palmina, K., Gurashi, A. G., & Anthony C. 2012. Potential of vegetable tanning materials and basic aluminum sulphate in Sudanese Leather Industry Part II. Suranaree Journal of Science and Technology, 191, J. H. 2013. Eco-friendly and innovative polymer topic The dyeing levelness for buffed leather by using amphoteric polymer agent. In XXXII Congress of IULTCS. Istanbul, Turkey P. 2013. Penelitian pembuatan kulit jaket ramah lingkungan menggunakan bahan penyamak nabati Laporan Penelitian. Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik, Indonesia. Purnomo, E. 1985. Pengetahuan dasar teknologi penyamakan kulit. Yogyakarta, Indonesia Akademi Teknologi K. J., Marimuthu N., Rathinam A., & Balachandran U. N. 2013. Green synthesis of monodispersed iron oxide nanoparticles for leather îżnishing. In XXXII Congress of IULTCS. Istanbul, Turkey O., Covington, A. D., & Evans, C. S. 2011. Teknologi baru penyamakan kulit ramah lingkungan penyamakan kombinasi menggunakan penyamak nabati, naftol dan oksazolidin. Jurnal Teknologi Industri Pertanian, 182, N. 2009. Pembuatan nanopartikel dalam perspektif high energy milling. Dalam Workshop Nanoteknologi. Tangerang, Indonesia Puspiptek BPPT. Valeika, V., Sirvaityte, J., & Beleska, K. 2010. Esti-mation of chrome free tanning method suitability in conformity with physical and chemical proper-ties of leather. Materials Science Medzigotyra, 164, 330-338. ... Several studies on extracts of tannins from plants as tanning agents have been carried out including [8,11,[15][16][17][18]. The tanning material consists of tannins, non-tannins, and other waterinsoluble compounds [19]. The effectiveness of vegetable tanning agents can be done through the extraction of tannins. ...... Thus, tannins can be extracted using water as a solvent. [19] Tannins found in acacia bark can be obtained through the extraction process. Various tannin extraction methods have also been reported including the water bath method, with autoclave, reflux, and Microwave-assisted extraction MAE with the aim of short extraction time, use of a small amount of solvent, higher extract yield, and lower costs [8,12,13,21,22]. ...... Identification of compounds from the bark of showed high yields, namely phenyl phenol Based on the retention time, the compound that appeared first in [19]. [33] Tannins are polyphenolic macromolecular compounds that can form complexes with metal ions, thus enabling them to be used as corrosion inhibitors on metals. ...Sri Mutiar Anwar KasimVegetable tanning materials are sourced from plants that contain tannin compounds. Tannins are obtained through the extraction method from the roots, stems, bark, or fruit of the original plant. There are several forest management companies in Indonesia that produce wood from plant species Acacia auriculiformis and Acacia mangium. Both species are known as Acacia. Acacia is an important source of tannin for material tanner vegetables. This wood is produced as a raw material for the pulp and paper industry. However, the bark contains tannin and has not been used optimally. Therefore, the study's potential and possible applications as vegetable tanning agents have been carried out. The research was started by investigating the availability of bark and extracting tannins to obtain extracts containing tannins. Furthermore, the extract obtained was applied as a vegetable tanning agent for the goatskin tanning process. The results showed that the bark of the Plant Industry Forest has the potential to be developed as a source of tannins for material vegetable tanning agents. The application of acacia bark extract in goatskin tanning has obtained tanned leather that meets the Indonesian National Standard.... Sifat dari tanin terhidrolis menjadi glikon dan aglikon. Bentuk glikosida tanin yaitu larut dalam air, mengendap pada logam berat serta protein [3]. Kedua sifat dari tanin mempengaruhi cara ekstraksi serta pengenalan senyawanya [4]. ...... Saat ini konsumen produk kulit khususnya produk kulit ekspor mengarah pada permintaan kulit samak nabati, dengan pertimbangan produknya yang ramah lingkungan. Bahan penyamak nabati secara luas digunakan untuk proses penyamakan ulang pada produksi kulit upper leather dari kulit sapi, kambing, dan domba [1]. ...... Pada umumnya samak kombinasi menggunakan bahan penyamak nabati seperti mimosa, kayu akasia, kayu bakau dan kayu tingi Cahyo et al., 2016;Herminiwati et al., 2015;Kasmudjiastuti, 2014;Ramadhan et al., 2016. Namun penggunaan mimosa juga akhirnya menjadi permasalahan, karena mimosa merupakan barang impor yang cukup mahal Kasim et al., 2013. ...Ardinal ArdinalSalmariza SyPenelitian penyamakan kulit dengan memanfaatkan air limbah pengolahan gambir telah dilakukan. Penelitian dilakukan dengan variasi persentase penambahan tawas dan tunjung sebagai mordan masing-masing 0%, 2%, 4% dan 6% kedalam limbah cair pengolahan gambir. Penambahan tawas dan tunjung dilakukan pada penyamakan tahap II. Pengamatan terhadap kulit tersamak meliputi tampilan warna kulit yang dihasilkan, dan analisis sifat kimia dan sifat fisika kulit tersamak dengan mengacu kepada SNI 0463- 1989-A. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pemakaian tawas dan tunjung sebagai mordan berpengaruh terhadap warna kulit tersamak. Pemakaian tawas memberikan warna kuning kemerahan sedangkan pemakaian tunjung memberikan warna hitam kehijauan pada kulit yang tersamak. Pemakaian tawas memberikan sifat kimia dan sifat fisika kulit yang lebih baik dari pada pemakaian tunjung. Hasil uji menunjukkan bahwa pemakaian tawas memberikan kelarutan tannin dalam air yang lebih rendah, kadar kulit mentah yang lebih kecil, tannin terikat lebih tinggi, kekuatan tarik lebih tinggi, kekuatan lentur/kemuluran yang lebih rendah dibanding dengan perlakuan pemakaian tunjung. Perlakuan persentase pemberian tawas lebih berpengaruh terhadap sifat fisik kekuatan tarik dan kekuatan lentur kulit tersamak. Semakin tinggi persentase tawas, maka semakin tinggi kekuatan tarik dan sebaliknya semakin rendah kekuatan lentur. Perlakuan optimum didapatkan pada penambahan tawas 2%.ABSTRACTSkin tanning research has been carried out by utilizing gambier processing wastewater. The study was conducted with a variation of the percentage of alum and tunjung addition as mordant respectively 0%, 2%, 4% and 6% into gambier processing wastewater. The addition of alum and tunjung is carried out in the tanning phase II. Observation of tanned skin includes the appearance of the resulting skin color, and the analysis of chemical and physical properties of tanned skin with reference to SNI 0463-1989-A. The results showed that the treatment of alum and tunjung as mordant affected the tanned skin color. The treatment of alum as mordant gave a reddish yellow color while the use of tunjung gave a greenish black color to the tanned skin. The use of alum gives the chemical and physical properties of the skin better than the use of tunjung. The test results show that the use of alum provides lower tannins solubility in water, lower raw skin content, higher tannin bound, higher tanning levels, higher tensile strength, higher flexural strength / elongation strength compared to the treatment of using tunjung. The percentage treatment of alum is more influential on the physical properties of tensile strength and flexural strength of tanned skin. The higher the percentage of alum, the higher the tensile strength, on the other hand the lower the flexural strength. The optimum treatment was obtained at 2% addition of ini bertujuan untuk mengetahui kandungan tanin dan metode ekstraksi terhadap karakteristik dan kadar tanin dari kulit kayu Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth. Kulit kayu diperoleh dari HTI PT. Arara Abadi. Metode ekstrak yang digunakan water bath, ultrasonic bath, autoclave, refluks dan microwave. Ekstrak tanin yang dihasilkan diaplikasikan sebagai bahan penyamak nabati. Ekstrak yang digunakan adalah rendemen tertinggi dari metode yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen tertinggi diperoleh dengan metode autoclave yaitu 29,65%. Hasil analisis kimia dari ekstrak yang dihasilkan kadar tanin adalah 52,79%, bahan larut air 62,40%. Aplikasi ekstrak tanin sebagai bahan penyamak nabati menggunakan kulit kambing dilakukan analisis kimia, pengamatan sifat fisik dan organoleptis. Kualitas kulit tersamak ditinjau dari sifat kimia diantaranya kadar air 15,02%, kadar lemak 3,20%, kadar abu 3,44%, kadar zat larut air 3,57%, kadar zat kulit mentah 43,79%, kadar tanin terikat 30,98% dan derajat penyamakan 70,74%. Pengamatan sifat fisik kulit tersamak yaitu kekuatan tarik 254,21 kg/cm2, kemuluran 63,95%, ketahanan zwik/keretakan 9,27 mm nerf tidak pecah, ketebalan 0,9 mm, warna coklat. Ekstrak kulit kayu A. auriculiformis mengandung tanin dan berpotensi untuk digunakan sebagai bahan penyamak metal tanning and semi-metal tanning potency of the first row transition metals was studied using hide powder. Transition metals show different levels of synergistic hydrothermal stabilisation in semi-metal tanning. Measurement of hydrothermal stability was carried out regularly in order to monitor the stability and permanence of tanning interactions in metal tanned and semi-metal tanned leathers. The results indicate that the physico-chemical properties of leather can be altered as a result of redox interactions, in which certain transition metals play the role of a catalyst. The extent of metal catalysed oxidative degradation of leather can proceed to the extent of complete destruction of the tanning matrix as well as the collagen itself. A proposed mechanism of metal catalysed autodegradation in semi-vanadium IV leather is discussed with regard to experimental results and a review of earlier research on the interaction of vanadium salts with phenolic compounds. Virgilijus ValeikaJusta Ć irvaitytÄKestutis BeleskaThe change of tanning parameters reflects on leather chemical and physical properties. The standardized determination methods of more important for customers leather indexes do not allow absolutely clear to conclude about suitability of developed tanning method for leather processing. Due to this DSC analysis and IR spectroscopy were employed as additionally analyses methods for the clarification of tanning process influence on leather qualitative properties. During research established structural characteristics of variously tanned leather show how differently tanning materials join to derma collagen and prove that content of linked tanning materials is not most important factor, which ordains the thermo stability of collagen, in the case of chrome-free tanning. The results of DSC and IR-spectroscopy clarify the data obtained by other investigation methods and allow more exactly estimation of the tanning method suitability for leather processing. It was established that variation of vegetable tannins in tanning recipe influences on leather properties and best results are obtained using mimosa pressures on chromium have now forced the leather industry to look for possible alternatives. A vegetable- aluminum combination tannage has been studied, with special attention being given to intended final product. Aluminum is mineral tanning agents that are widely used to stabilize collagens in the leather industry. In this study, the crosslinking of vegetable and aluminum, with collagens, have been explored. This kind of chrome free tannage give us leathers with shrinkage temperature around 125oC, elongation at break tensile strength 38 N/mm2, and tear strength 98 N/mm. The chemical properties of the combination tanned leathers are found to be quite normal. Among the combination system evaluated, a vegetable pretannage followed by retannage with basic aluminum sulphate was found to produce stronger leather with the durable characteristics. In contrast, pre-tanning with aluminum possibly tightens the collagen fiber network, preventing high molecular weight vegetable tannins from interacting with collagen fibres. Optimal results were obtained when 10% w/w vegetable tannins garad and 2% Aluminum sulphate was worldwide, including leather, have had to phase out pigments based on lead, chromiumVI, cadmium etc. due to the toxicity associated with these transition metal ions. Coupled to this phase out is also a need to enhance the functional properties of the otherwise safe pigments, with low use, so as to avoid wastage. In this direction, the use of nano-pigments is slowly coming into vogue. This paper explores the advantages of replacing an otherwise popular brown pigment - the hematite α-Fe2O3 with nanosized oxides in leather finishing. Any synthesis methodology for nanoparticles is sustainable only when green methods are employed for their synthesis. This work takes adequate care in employing an environmentally friendly methodology based on biocompatible polysaccharide - starch as a template. The advantages of this method, such as the monodisperse character of the oxide, low particle size, ability of the carbon residue from the template to aid easy homogenization of the pigment to the finish formulation have resulted in excellent covering of surface, improved levelness, no overloading of grain, excellent physical properties and ageing penyamakan kulit ramah lingkunganR AlbetAlbet, R. 2013. Cara penyamakan kulit ramah lingkungan. Jakarta, Indonesia Badan Pengendalian Dampak teknologi dan kimia kulitJ ArdhianyArdhiany, J. 2011. Dasar teknologi dan kimia kulit. Bandung, Indonesia Nasional Indonesia SNI 06-0237-1989 Kulit lapis kambing/dombaBSN Badan Standardisasi Nasional. 1989. Standar Nasional Indonesia SNI 06-0237-1989 Kulit lapis kambing/domba. Jakarta, Indonesia Nasional Indonesia SNI 06-6051-1999 Cara uji bahan penyamak nabatiBSN Badan Standardisasi Nasional. 1999. Standar Nasional Indonesia SNI 06-6051-1999 Cara uji bahan penyamak nabati. Jakarta, Indonesia and innovative polymer topic The dyeing levelness for buffed leather by using amphoteric polymer agentJ H HsuHsu, J. H. 2013. Eco-friendly and innovative polymer topic The dyeing levelness for buffed leather by using amphoteric polymer agent. In XXXII Congress of IULTCS. Istanbul, Turkey pembuatan kulit jaket ramah lingkungan menggunakan bahan penyamak nabati Laporan PenelitianP PrayitnoPrayitno, P. 2013. Penelitian pembuatan kulit jaket ramah lingkungan menggunakan bahan penyamak nabati Laporan Penelitian. Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik, Indonesia.
Writtenby Restu. Pengertian Bahan Baku dan Jenis-Jenisnya â Dalam dunia industri tidak bisa dilepaskan dari yang namanya bahan baku. Bahan baku tidak bisa lepas dari dunia industri karena setiap produk yang berasal dari industri pasti dihasilkan dari bahan baku terbaik. Bahan baku bukan hanya digunakan di industri yang besar, tetapi juga
DasarKelainan : Erosi mukosa gaster I.DIAGNOSIS A.Keluhan pokok 1.Baru minum bahan-bahan yang erosif : Alkohol NSAID Salisilat Refluks usus-lambung Sebelumnya mengalami penyakit berat Nyeri epigastrium Anoreksi Nausea, vomiting Hematemesis
The use of plastic can cause environmental pollution and risk the health of consumers. One of ways to solve this problem is the use of biodegradable packaging food is that edible film. Raw material for preparing edible film can be derived from starch, one of them is Breadfruit starch. Edible film can protect the packaged product of the oxidation process by adding orange skin extract. This research aimed at knowing physical and chemical characteristics of edible film of breadfruit starch with the addition of orange skin extract and the implementation of the source of student learning on Polymer material. Edible film was prepared from breadfruit starch with variation by adding 0, 2, 4 and 6 grs orange skin extract. Physical analysis was tested by using Water Vapor Transmission Rate and chemical analysis was tested by using Water Content and Antioxidant Activity Tests. Research findings showed that along with increasing the composition of orange skin extract, edible film was impairing of water vapor transmission rate, and increasing of water levels and antioxidant activity. Research product appropriateness of preparing edible film of Breadfruit starch with the addition of orange skin extract as the source of student learning on Polymer material was on the category of good Edible Film, Starch, Breadfruit, Extract, Orange Skin Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 65 PEMBUATAN EDIBLE FILM DARI PATI SUKUN DAN EKSTRAK KULIT JERUK SEBAGAI SUMBER BELAJAR MATERI POLIMER Memi Rozalina1, Yusbarina2 1Program Studi Pendidikan Kimia, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, UIN SUSKA Riau Email memirozalina 2Program Studi Pendidikan Kimia, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, UIN SUSKA Riau Email yusbarina Abstract The use of plastic can cause environmental pollution and risk the health of consumers. One of ways to solve this problem is the use of biodegradable packaging food is that edible film. Raw material for preparing edible film can be derived from starch, one of them is Breadfruit starch. Edible film can protect the packaged product of the oxidation process by adding orange skin extract. This research aimed at knowing physical and chemical characteristics of edible film of breadfruit starch with the addition of orange skin extract and the implementation of the source of student learning on Polymer material. Edible film was prepared from breadfruit starch with variation by adding 0, 2, 4 and 6 grs orange skin extract. Physical analysis was tested by using Water Vapor Transmission Rate and chemical analysis was tested by using Water Content and Antioxidant Activity Tests. Research findings showed that along with increasing the composition of orange skin extract, edible film was impairing of water vapor transmission rate, and increasing of water levels and antioxidant activity. Research product appropriateness of preparing edible film of Breadfruit starch with the addition of orange skin extract as the source of student learning on Polymer material was on the category of good Keywords Edible Film, Starch, Breadfruit, Extract, Orange Skin 1. PENDAHULUAN Akhir-akhir ini kemasan yang lebih maju modern telah banyak digunakan secara meluas pada produk bahan pangan dan hasil pertanian adalah plastik [1], alasan penggunaannya karena plastik memiliki berbagai keunggulan seperti fleksibel, mudah dibentuk, transparan, tidak mudah pecah dan harganya yang relatif murah [2]. Disamping keunggulan tersebut, polimer plastik juga mempunyai berbagai kelemahan, yaitu tidak tahan panas, dapat mencemari produk sehingga mengandung resiko keamanan dan kesehatan konsumen [1]. Plastik yang berasal dari minyak bumi jumlahnya semakin terbatas dan sifatnya yang tidak mudah didegradasi meskipun telah ditimbun puluhan tahun, akibatnya terjadi penumpukan limbah plastik yang menjadi penyebab pencemaran lingkungan [3]. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan memakai pengemas makanan yang biodegradable yaitu edible film [4]. Edible film merupakan suatu kemasan primer yang ramah lingkungan yang berfungsi untuk mengemas dan melindungi pangan, dan dapat menampakkan produk pangan karena bersifat transparan, serta dapat langsung dimakan bersama produk yang dikemas karena terbuat dari bahan pangan tertentu [5]. Salah satu material yang dapat digunakan sebagai bahan baku adalah material polimer yang berbentuk bentuk pati [6]. Salah satu bahan biopolimer edible film tersebut adalah pati dari sukun. Buah sukun memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi. Pati yang diperoleh dari sukun menghasilkan 18,5 g/100 g dengan kemurnian 98,86% dan kandungan amilosa 27,68% dan amilopektin 72,32% [7]. Penelitian Weni Setiani menyebutkan bahwa sukun dapat digunakan sebagai bahan pembuatan edible film. Dimana hasil terbaik 66 edible film adalah pada formulasi pati sukun-kitosan 64. Selain berperan sebagai pengemas bahan pangan, edible film juga dapat berfungsi sebagai pembawa senyawa antioksidan [5]. Salah satu sumber antioksidan yang dapat digunakan adalah kulit jeruk. Kulit jeruk manis memiliki IC50 0,564 mg/mL dan kadar fenolik total adalah 277 mg/g GAE dan jumlah flavonoid 777,23 mg/100 g [8]. Edible film selain digunakan sebagai pengemas makanan juga dapat diimplementasikan ke sekolah pada materi polimer. Pada materi ini peserta didik hanya diberi pengetahuan melalui konsep-konsep dan kurang dibahas tentang polimer dalam kehidupan sehari-hari. Hal inilah yang menyebabkan kurang berminatnya peserta didik terhadap materi kimia polimer sehingga diperlukan suatu sumber belajar yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran kimia dan dapat memberikan daya tarik kepada peserta didik dalam mempelajari kimia polimer. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Oktober 2016 di Laboratorium PEM Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Laboratorium HPLC Universitas Negeri Riau, SMK Telkom Pekanbaru dan MA Dar El Hikmah Pekanbaru. Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu sukun, larutan garam 1%, kulit jeruk, etanol 96%, gliserol, CMC Carboxy Methyl Cellulose, DPPH dalam etanol, aquades dan silica gel. Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu pisau, blender, saringan, ayakan, gelas beaker, neraca analitik, kaca arloji, hot plate, rotary evaporator, magnetic stirer, cetakan plat kaca, termometer, oven, desikator, sonikator, microplate reader. Tahapan penelitian dilakukan dengan tiga tahapan yaitu a. Pembuatan Pati Sukun Sukun dibersihkan, dikupas dan dipotong kecil-kecil kemudian direndam dalam larutan garam selama 1 jam. Senjutnya dihancurkan dan disaring. Kemudian larutan pati yang didapatkan diendapkan selama 12 jam. Jika sudah 12 jam endapan dipisahkan dari air. Endapan pati yang didapat kemudian dikeringkan didalam oven dengan suhu ± 40oC. Kemudian pati sukun yang sudah kering dihaluskan dan diayak dengan ayakan 140 mehs sehingga didapatkan butiran pati sukun yang halus [10]. b. Pembuatan Ekstrak Kulit Jeruk Kulit jeruk manis yang sudah dicuci bersih, diiris kecilâkecil, kemudian dikering anginkan selama tiga hari. Selanjutnya kulit jeruk yang sudah mengering dihaluskan dengan blender dan diayak sehingga dihasilkan serbuk halus kulit jeruk [11]. Selanjutnya serbuk kulit jeruk diekstraksi dengan cara maserasi dengan menggunakan pelarut etanol 96% selama 24 jam [12]. Kemudian sampel dimasukkan ke dalam sonikator untuk dilakukan proses sonikasi selama 1 jam dengan gelombang 40 Khz pada suhu ruang 28oC [13]. Setelah itu, dilakukan penyaringan menggunakan kapas hingga didapatkan filtrat kemudian diuapkan pelarutnya dengan rotary evaporator pada suhu 50oC [11]. c. Pembuatan Edible Film Larutan film dibuat dengan campuran 5 g pati sukun dan 2 mL gliserol dengan aquades sebanyak 100 mL didalam 4 buah gelas beaker. Larutan tersebut kemudian dipanaskan dan diaduk dengan menggunakan magnetik stirrer selama 45 menit hingga mencapai suhu gelatinisasi [7]. Suhu gelatinisasi pati sukun adalah 70-75oC [10]. Kemudian ditambahkan CMC dengan konsentrasi 0,25g. Kemudian 67 larutan tetap dipanaskan sambil diaduk selama 10 menit. Suspensi dalam gelas beaker didinginkan sampai suhu ruang. Kemudian ditambahkan ekstrak kulit jeruk dengan variasi berat 0, 2, 4 dan 6 g, kemudian diaduk kembali pada hot plate stirrer. Suspensi sebanyak 30 mL dicetak diatas plat kaca. Pengeringan dilakukan pada suhu 45oC selama 15 jam. Kemudian edible film didinginkan pada suhu ruang 25oC selama 30 menit [5]. Prosedur analisis terdiri dari a. Analisis Fisik Laju transmisi Uap Air Edible film dari Pati Sukun dengan Penambahan Ekstrak Kulit Jeruk Edible film dipotong berdiameter ± 5 cm dan diletakkan diantara dua wadah [14]. Wadah 1 berisi 15 mL aquades dan ditempatkan di wadah 2 yang berisi silica gel. Lalu disimpan pada suhu 25oC. Pengukuran dilakukan setelah penyimpanan selama 24 jam dan laju transmisi uap air dihitung dengan rumus [9] Laju transmisi Uap Air = Dimana W = perubahan berat edible film setelah 24 jam t = waktu 24 jam A = luas area permukaan film m2 b. Analisis Kimia Edible film dari Pati Sukun dengan Penambahan Ekstrak Kulit Jeruk 1 Analisis Kadar Air Sampel ditimbang sebanyak 1 g dalam cawan porselen yang telah diketahui beratnya. Sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 3 jam. Selanjutnya sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar air dihitung dengan rumus [5] Kadar air = x100% 2 Analisis Aktivitas Antioksidan Uji aktivitas antioksidan dilakukan dengan menggunakan Microplate reader two fold delution dengan metode DPPH 1,1-diphenyl-2-picryl hydrazil. Sampel sebanyak 1 g dalam 10 mL MeOH dalam hal ini konsentrasi sampel 100 mg/ mL. Baris A dimasukkan sampel sebanyak 100 ”L. Sebanyak 50 ”L MeOH dimasukkan pada masing-masing sumur pada baris B-F. Baris A dipipet sebanyak 50 ”L dan dimasukkan ke baris B, baris B dipipet 50 ”L dimasukkan ke baris C dan dilakukan sampai baris F, baris F dipipet 50 ”L lalu dibuang sehingga diperoleh konsentrasi 100, 50, 25, dan mg/mL. Sedangkan pada baris G-H diisi dengan MeOH 50 ”L. Khusus pada baris H diisi hanya sumur 1-6. Baris A-G ditambahkan DPPH sebanyak 80 ”L dengan konsentrasi 80 ”g/ mL, kemudian diinkubasi selama 30 menit. Aktivitas penangkapan radikal diukur dengan Microplate reader dan olah data. Nilai % inhibisi dihitung dengan rumus [15] % Hambatan x 100% Keterangan Akontrol =Absorbansi tidak mengandung sampel Asampel = Absorbansi sampel 3 Penilaian Produk Penelitian di Sekolah Dokumentasi penelitian dibuat sebagai sumber belajar dalam materi polimer. Selanjutnya produk penelitian yang telah dibuat akan dinilai oleh guru-guru kimia di SMK Telkom Pekanbaru dan MA Dar El Hikmah Pekanbaru dalam bentuk angket. Data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi relatif dan 68 persentasenya digunakan rumus sebagai berikut [17] P = x 100% Keterangan F frekuensi yang sedang dicari presentasenya N jumlah frekuensi/ banyaknya individu P angka persentase 3. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Pembuatan Pati Sukun Buah sukun adalah buah sukun yang sudah tua, dikarenakan kandungan karbohidratnya yang tinggi yaitu 28,20 g/100 g bahan [18]. Buah sukun yang telah dipotong direndam didalam larutan air garam 1% bertujuan untuk mengurangi pencoklatan. Buah sukun termasuk dalam buah-buahan yang mudah mengalami pencoklatan. Maka dari itu, perlu adanya perlakuan khusus terhadap buah ini untuk mempertahankan nilai gizi yang ada didalamnya [19]. Kemudian buah sukun dihancurkan dan disaring untuk memisahkan ampas buah sukun dan larutan pati. Larutan pati diendapkan selama 12 jam sampai lapisan air dan patinya memisah. Kemudian pati di keringkan pada suhu ± 40oC. Selanjutnya diayak untuk mendapatkan butiran pati sukun berwarna putih yang halus. b. Pembuatan Ekstrak Kulit Jeruk Kulit jeruk yang digunakan adalah kulit jeruk manis yang masih segar. Kulit jeruk yang telah bersih dipotong kecil-kecil dan dikeringanginkan selama tiga hari. Pengeringan dilakukan bertujuan untuk mendapatkan sampel yang tidak mudah rusak oleh adanya pertumbuhan jamur sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama [16]. Selanjutnya kulit jeruk yang sudah dihaluskan dan diayak untuk memperoleh serbuk yang homogen dan untuk mempermudah proses penarikan zat aktif pada saat ekstraksi. Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi selama 24 jam menggunakan pelarut etanol 96%. Proses ekstraksi dapat dihentikan ketika tercapai keseimbangan antara konsentrasi metabolit dalam ekstrak dan dalam bahan tanaman [16]. Kemudian sampel disonikasi selama 1 jam. Sonikasi dapat meningkatkan permeabilitas dinding sel dan menghasilkan kavitasi sehingga pelarut mudah berdifusi ke dalam sel tumbuhan[20]. Selanjutnya dilakukan penyaringan dan filtrat yang didapat diuapkan pelarutnya dengan menggunakan rotary evaporator pada suhu 50oC untuk menghasilkan ekstrak kulit jeruk yang kental. c. Pembuatan Edible Film Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan edible film ini adalah pati sukun. Pati sukun memiliki kadar amilosa tinggi sekitar 27,68% [7]. Sehingga menghasilkan film yang lebih kuat dari pati yang mengandung lebih sedikit amilosa [21]. Namun penggunaan bahan tunggal masih memiliki kekurangan diantaranya adalah sifat rapuh dan kaku. Oleh karena itu perlu ditambahkan bahan tambahan yaitu plasticizer yang berfungsi untuk menambah sifat elastisitas. Salah satu jenis plasticizer yang banyak digunakan adalah gliserol [5]. Kemudian bahan tersebut dilarutkan dengan aquades. Selanjutnya dipanaskan dan diaduk menggunakan hot plate stirrer selama ± 30 menit hingga mencapai suhu gelatinisasi pada suhu 73 oC. Gelatinisasi adalah perubahan yang terjadi pada granula pada waktu mengalami kenaikan suhu yang luar biasa dan tidak dapat kembali ke bentuk semula. Suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat granula pati pecah [22]. Kemudian ditambahkan CMC yang dapat mengikat air yang berperan dalam 69 pembentukan gel [23]. Setelah itu dicetak di atas plat kaca. Sedangkan pada larutan edible film yang lain ditambahkan ekstrak kulit jeruk yang berfungsi sebagai pembawa senyawa antioksidan karena mengandung senyawa fenolik dan vitamin C. Keberadaan asam akan menyebabkan terjadinya hidrolisis molekul amilosa dan amilopektin menjadi rantai yang lebih pendek. Hal ini dapat menyebabkan pati menurun kemampuan gelatinisasi [24], sehingga perlu penambahan CMC. Kemudian di keringkan didalam oven suhu 45oC selama 15 jam. Gambar 1. Edible film dari pati sukun dengan variasi penambahan ekstrak kulit jeruk Edible film yang dihasilkan transparan dan semakin banyak ekstrak kulit jeruk yang ditambahkan maka akan memekatkan warna kuning yang dihasilkan oleh edible film. d. Analisis Fisik Laju transmisi Uap Air Edible film dari Pati Sukun dengan Penambahan Ekstrak Kulit Jeruk Hasil analisis laju transmisi uap air pada edible film dapat di lihat pada gambar 2. Gambar 2. Hasil analisis laju transmisi uap air pada edible film Berdasarkan gambar 2 dapat dilihat bahwa semakin banyak penambahan ekstrak kulit jeruk akan menurunkan nilai laju transmisi uap air edible film. Hal ini dikarenakan semakin banyak penambahan ekstrak kulit jeruk akan meningkatkan total padatan sehingga terbentuk edible film yang tebal. Peningkatan jumlah padatan, akan memperkecil rongga dalam gel. Semakin tebal dan rapat matriks film dapat mengurangi laju transmisi uap air karena sulit untuk ditembus uap air [21]. Edible film yang mempunyai nilai laju transmisi uap air yang kecil cocok digunakan untuk mengemas produk yang mempunyai kelembapan yang tinggi [14]. e. Analisis Kimia Edible film dari Pati Sukun dengan Penambahan Ekstrak Kulit Jeruk 1 Analisis Kadar Air Hasil analisis kadar air pada edible film dapat di lihat pada gambar 3. Gambar 3. Hasil analisis kadar air pada edible film Berdasarkan gambar 3 dapat dilihat bahwa semakin banyak penambahan ekstrak kulit jeruk akan menaikkan kadar air edible film. Kulit jeruk manis memiliki kadar fenolik total adalah 277 mg/g GAE [8]. Fenol yang terkandung pada ekstrak dapat membentuk ikatan hidrogen dalam air, sehingga semakin banyak ekstrak yang ditambahkan maka akan menyebabkan ikatan hidrogen Tanpa ekstrak kulit jeruk Tanpa ekstrak kulit jeruk 70 bertambah sehingga kadar air akan meningkat [25]. Kadar air yang kecil akan memperpanjang masa simpan bahan makanan, karena dapat menghambat aktivitas mikroorganisme [26]. 2 Analisis Aktivitas Antioksidan Aktivitas antioksidan diukur menggunakan metode DPPH. Kuat tidaknya antioksidan dapat dilihat dari IC50. Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin tinggi aktvitas antioksidan [27]. Hasil analisis aktivitas antioksidan pada edible film dapat di lihat pada gambar 4. Gambar 4. Hasil analisis aktivitas antioksidan pada edible film Berdasarkan gambar 4 dapat dilihat bahwa semakin banyak penambahan ekstrak kulit jeruk akan menaikkan aktivitas antioksidan edible film. Hal ini dikarenakan ekstrak kulit jeruk mengandung senyawa antioksidan berupa vitamin C asam askorbat dan senyawa fenolik. Asam askorbat digolongkan sebagai agen pereduksi karena efektif dalam melawan agen oksidasi [28]. Sedangkan senyawa fenol mempunyai mekanisme penangkapan radikal bebas [21]. f. Penilaian Produk Penelitian di Sekolah Penilaian kelayakan produk penelitian sebagai sumber belajar pada materi polimer dilakukan dalam bentuk angket. Indikator penilaian berupa kesesuaian isi produk penelitian pembuatan edible film dari pati sukun dengan penambahan ekstrak kulit jeruk dengan materi polimer sebagai sumber belajar dan peranannya dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan hasil rekapitulasi data angket pada Tabel 1, didapatkan persentase 88,33% tergolong sangat baik digunakan untuk sumber belajar pada materi polimer. Tabel 1. Analisis Hasil Jawaban Penilaian Produk Penelitian Sebagai Sumber Belajar oleh Guru Kimia Kesesuaian produk penelitian terhadap tujuan pembelajaran Kemampuan produk penelitian untuk meningkatkan atau memelihara minat siswa/I terhadap materi yang diajarkan Aplikasi produk penelitian dalam kehidupan sehari-hari Tanpa ekstrak kulit jeruk 71 4. KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa seiring dengan bertambahnya ekstrak kulit jeruk maka edible film mengalami penurunan nilai laju transmisi uap air, peningkatan kadar air dan peningkatan aktivitas antioksidan. Kelayakan produk penelitian pembuatan edible film sebagai sumber belajar pada materi polimer sebesar 88,33% yang dikategorikan sangat baik sebagai sumber belajar dalam materi polimer. 5. REFERENSI [1] Sari, T. I., Hotman, P. M., Fery, P., âPembuatan Edible Film dari Kolang Kalingâ, In Jurnal Teknik Kimia, Vol. 15, No. 4, pp. 28-30, Desembar, 2008. [2] Prasetyaningrum, A., Nur, R., Deti, N. K., Fransiska, D. âKarakterisasi Bioactive Edible Film dari Komposit Alginat dan Lilin Lebah sebagai Bahan Pengemas Makanan Biodegrdableâ, In Seminar Rekayasa Kimia dan Proses, Semarang, Indonesia, 2010, pp. 1. [3] Setiani, W., Tety, S., Lena, R., âPreparasi dan Karakterisasi Edible Film dari Poliblend Pati Sukun-Kitosanâ, In Jurnal Valensi, Vol. 3, No. 2, ISSN 1978-8193, pp. 100-108, November, 2013. [4] Sinaga, L. L., Melisa, S. R. S., Mersi, S. S., âKarakteristik Edible Film dari Ekstrak Kacang Kedelai dengan Penambahan Tepung Tapioka dan Gliserol sebagai Bahan Pengemas Makananâ, In Jurnal Teknik Kimia, Vol. 2, No. 4, pp. 12, 2013. [5] Huri, D., Fithri, C. N., âPengaruh Konsentrasi Gliserol dan Ekstrak Ampas Kulit Apel terhadap Karakteristik Fisik dan Kimia Edible Filmâ, In Jurnal Pangan dan Agroindustri, Vol. 2, No. 4, pp. 30-32, Oktober, 2014. [6] Pradipta, I. M. D., Lizda. J. M., âPembuatan dan Karakterisasi Polimer Ramah Lingkungan Berbahan Dasar Glukomanan Umbi Porangâ, In Jurnal Sains dan Seni Pomits, Vol. 1, No. 1, pp. 1, 2012. [7] Marpongahtun, Cut Fatimah Zuhra, âPhysical-Mechanical Properties and Microstructure of Breadfruit Starch Edible Films with Various Plasticizerâ, In Jurnal Eksakta, Vol. 13, No. 1-2, pp. 56-58, Agustus, 2013. [8] Muhtadi. Anggita, L. H., Andi, S., Tanti, A. S., Haryoto, âPengujian Daya Antioksidan dari Beberapa Ekstrak Kulit Buah Asli Indonesia dengan Metode FTCâ, In Simposium Nasional RAPI XIII, Surakarta, Indonesia, 2014, pp. 50. [9] Afriyah, Y., Widya, D. R. P., Sudarma, D. W., âPenambahan Aloe vera L. dengan Tepung Sukun Artocarpus communis dan Gayong Canna edulis Ker. terhadap Karakteristik Edible Filmâ , In Jurnal Pangan dan Argoindustri, Vol. 3, No. 4, pp. 1315-13117, September, 2015. [10] Triwarsita, W. S. A., Windi, A., Dimas, R. A. M., âPengaruh Penggunaan Edible Coating Pati Sukun Artocarpus Altilis dengan Variasi Konsentrasi Gliserol sebagai Plasticizer terhadap Kualitas Jenang Dodol Selama Penyimpananâ, In Jurnal Teknosains Pangan, Vol. 2, No. 1, ISSN 2302-0733, pp. 125-126, Januari, 2013. [11] Friatna, E. R., Achmad, R., Tanti, H., âUji Aktivitas Antioksidan pada Kulit Jeruk Manis Citrus sinensis sebagai Alternatif Bahan Pembuatan Masker Wajahâ, pp. 5-6, Agustus, 2011. [12] Kartikaningtyas, A. T., Prayitno, Sri, P. L., âPengaruh Aplikasi Gel Ekstrak Kulit Citrus sinensis terhadap Epitelisasi pada Penyembuhan Luka Gingiva Tikus Sprague Dawleyâ, In Jurnal Maj Ked Gi Ind, Vol. 1, No. 1, ISSN 2460-0164, pp. 87, Juni, 2015. [13] Firdiyani, F., Tri, W. A., Widodo, F. M., âEkstraksi Senyawa Bioaktif sebagai Antioksidan Alami Spirulina platensis Segar dengan Pelarut yang Berbedaâ, In Jurnal JPHPI, Vol. 18, No. 1, DOI pp. 30, April, 2015. 72 [14] Amaliya, R. R., Widya, D. R. P., âKarakteristik Edible Film dari Pati Jagung dengan Penambahan Filtrat Kunyit Putih sebagai Antibakteriâ, In Jurnal Pangan dan Agroindustri, Vol. 2, No. 3, pp. 46-48, Juli, 2014. [15] M. Almurdani, âEksplorasi Senyawa Antioksidan, Antimikrobial dan Toksisitas dari Akar Tanaman Bayam Berduri Amaranthus spinosusâ, J. K, Tesis Universitas Riau, Pekanbaru, Indonesia, 2013. [16] Erawati, âUji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Garciniadaedalanthera Pierre dengan Metode DPPH 1,1-Difenil Pikrilhidrazil dan Identifikasi Golongan Senyawa Kimia dari Fraksi Paling Aktifâ, J. F, Skripsi Universitas Indonesia, Depok, Indonesia, 2012. [17] Sudijono, Anas, Pengantar Statistik Pendidikan, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2006, pp. 43. [18] Hendri, L. Marlina, Liferdi, âDiversifikasi Pangan dan Gizi dengan Alpukat, Pisang dan Sukunâ, In Seminar Nasional Program dan Strategi Pengembangan Buah Nusantara, Solok, Indonesia, 2010, pp. 298-299. [19] Sutikno, âPengaruh Pemblansiran Irisan Buah Sukun Artocarpus communis Terhadap Pencoklatan dan Kadar Pati sebagai Alternatif Sumber Belajar Kimia SMA Kelas XIIâ, J. P. K, Skripsi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Indonesia, 2008. [20] Kartini, Fitria Dwi, âPengaruh Perbedaan Pelarut Ekstraksi Terhadap Kadar Genistein dan Aktivitas Hambatan Tirosinase Edamame Glycine max In Vitroâ, J. F, Skripsi Universitas Jember, Jember, 2015. [21] Kusumawati, D. H., Widya, D. R. P., âKarakteristik Fisik dan Kimia Edible Film Pati Jagung yang Diinkorporasi dengan Perasan Temu Hitamâ, In Jurnal Pangan dan Agroindustri, Vol. 1, No. 1, pp. 91-94, Oktober, 2013. [22] Coniwanti, P., Linda, L., Mardiyah, R. A., âPembuatan Film Plastik Biodegredabel dari Pati Jagung dengan Penambahan Kitosan dan Pemplastis Gliserolâ, In Jurnal Teknik Kimia, Vol. 20, No. 4, pp. 24, Desember, 2014. [23] Herawan, Cindy Dwi., âSintesis dan Karakteristik Edible Film dari Pati Kulit Pisang dengan Penambahan Lilin Lebah Beeswaxâ, J. K, Skripsi Universitas Negeri Semarang, Semarang, Indonesia, 2015. [24] Kusnandar, Feri, âKarbohidratâ, Kimia Pangan Komponen Makro, Jakarta Dian Rakyat, 2011, pp. 105-125. [25] Ilah, Fina Mahabbatul, âPengaruh Penambahan Ekstrak Etanol Daun Salam Eugenia polyantha dan Daun Beluntas Pluchea indicaless terhadap Sifat Fisik, Aktivitas Antibakteri dan Aktivitas Antioksidan pada Edible Film Berbasis Patiâ, J. B, Skripsi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, Indonesia, 2015. [26] Hidayah, B. I., Neni, D., Endar, P., Pembuatan Biodegradable Film dari Pati Biji Nangka Artocarpus hetrophyllus dengan Penambahan Kitosanâ, In Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia âKejuanganâ, Purwokerto, Indonedia, 2015, pp. 5. [27] Zuhra, C. F., Juliati, Br. T., Herlince, S., âAktivitas Antioksidan Senyawa Flavonoid dari Daun Katuk Sauropus androgunus L Merr.â, In Jurnal Biologi Sumatera, Vol. 3, No. 1, ISSN 1907-5537, pp. 7-9, Januari, 2008. [28] Santoso, B., Gatot, P., Rahmad, H. P., âSifat Fisik dan Kimia Edible Film Berantioksidan dan Aplikasinya sebagai Pengemas Primer Lempok Durianâ, In Jurnal Agribisnis dan Industri Pertanian, Vol. 6, No. 1, ISSN 1412-8888, pp. 79, 2005. Yannie Asrie WidantiNurâainiY W WulandariE E K SariModified Cassava Flour Mocaf was expected to replace that of wheat, until presently, its Mocaf application to cake products is still very limited. Local foodstuffs such as arrowroot, breadfruit, and pumpkin are being used as substitutes for Mocaf-based products, to increase nutritional value, functional properties, and improve sensory characteristics. The aim of this study was to make the right formulation of sponge cake products with Mocaf and other substitutes, such as arrowroot, breadfruit, and pumpkin flour. Also, the research design used was a complete factorial randomized type with two factors, namely the ratio of Mocaf to substitute flour 6040, 5050, and 4060, and the types of powdered alternative consisting of arrowroot, breadfruit, and pumpkin flour. Furthermore, the results showed that the most preferable sponge cake panelists were those with the use of 40% Mocaf and 60% arrowroot flour. The nutritional composition of the product was water, ash, protein, fat, and carbohydrate contents by difference. Therefore, the product had the sensory properties of a pale-yellow color, little Mocaf taste, very soft and smooth texture, a small aftertaste, and Fatimah Zuhra MarpongahtunBreadfruit contains starch can be used as raw material of edible film. Research on preparation of edible films using various types of plasticizer xylitol, sorbitol and PEG 400 has been done. The edible films were evaluated of physical-mechanical properties and microstructure. The results of this study indicate that the addition of plasticizer effect on the physical and mechanical characteristics, the edible film thickness, tensile strength and water vapor transmission rate greater using PEG 400 but percent elongation smaller than xylitol and sorbitol. Surface analysis of film was performed using Scanning Electron Microscopy SEM method. Keyword Edible Film; Pati Sukun; Plasticizer; Silitol; Sorbitol ; PEG 400 Muhtadi MuhtadiSenyawa fenolik dan flavonoid sebagai antioksidan dapat mengurangi kecepatan peroksidasi lemak. Kerusakan sel yang dipicu oleh stress oksidatif yang disebabkan oleh peroksidasi lemak karena produksi ROS yang berlebih dapat dicegah oleh antioksidan. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui kadar fenolik dan flavonoid total serta aktivitas antioksidan ekstrak kulit buah rambutan, durian, jeruk manis, kelengkeng dan biji kelengkeng. Kadar fenolik total diuji menggunakan metode Folin-Ciocalteu, kadar flavonoid total diuji menggunakan reagen alumunium klorida, dan aktivitas antioksidan diuji menggunakan metode FTC ferri tiosianat dimana radikal yang terbentuk akan mereduksi ferro menjadi ferri sehingga terjadi kompleks dengan tiosianat yang dibaca pada λmax 484 nm. Hasil penelitian kulit buah rambutan, durian, jeruk manis, kelengkeng dan biji kelengkeng menunjukkan kadar fenolik total ekstrak secara berurutan adalah 373,19, 64,27, 295,57, 252,93 dan 106,97 mg/g GAE gallic acid equivalent. Kadar flavonoid total secara berurutan adalah 12,18, 45,81, 9,28, 8,76 dan 5,17 mg/g QE quercetin equivalent. Potensi persen penghambatan peroksidasi lemak secara berurutan adalah 35,29%, 22,06%, 26,47%, 38,97%, dan 31,62%. Aktivitas antioksidan ekstrak biji kelengkeng, ekstrak kulit buah durian dan kelengkeng memiliki persen penghambatan peroksidasi lemak yang lebih besar daripada vitamin E sebesar 30,88%.Cut Fatimah Zuhra Juliati TariganHerlince SihotangIsolation of flavonoid compound on leaf of katuk Sauropus androgunus L Merr was done by maseration using methanol, then concentrated extract was fractionation with n-hexane. Separation carry out with column chromatography using silica gel adsorbent 60 neutral G of E type and mobile phase n-hexane acetate ethyl 3 7 v/v. The result spectrum UV estimated obtained flavonoid that type of flavanon. Flavonoid obtained was examinated antioxidant test with method of DPPH using visible spectrophotometer at wavelength 515 nm during 0-30 minutes produce decrease of absorbance from each test solution compared with solution control with value of IC50 equal to 80,69 ÎŒg/ml. That is showing the flavonoid have strong antioxidant activity, because IC50 less than 200 ÎŒg/ Aloe vera L. dengan Tepung Sukun Artocarpus communis dan Gayong Canna edulis Ker. terhadap Karakteristik Edible FilmY AfriyahD R P WidyaD W SudarmaAfriyah, Y., Widya, D. R. P., Sudarma, D. W., "Penambahan Aloe vera L. dengan Tepung Sukun Artocarpus communis dan Gayong Canna edulis Ker. terhadap Karakteristik Edible Film", In Jurnal Pangan dan Argoindustri, Vol. 3, No. 4, pp. 1315-13117, September, Penggunaan Edible Coating Pati Sukun Artocarpus Altilis dengan Variasi Konsentrasi Gliserol sebagai Plasticizer terhadap Kualitas Jenang Dodol Selama PenyimpananW S A TriwarsitaA WindiR A M DimasTriwarsita, W. S. A., Windi, A., Dimas, R. A. M., "Pengaruh Penggunaan Edible Coating Pati Sukun Artocarpus Altilis dengan Variasi Konsentrasi Gliserol sebagai Plasticizer terhadap Kualitas Jenang Dodol Selama Penyimpanan", In Jurnal Teknosains Pangan, Vol. 2, No. 1, ISSN 2302-0733, pp. 125-126, Januari, Aktivitas Antioksidan pada Kulit Jeruk Manis Citrus sinensis sebagai Alternatif Bahan Pembuatan Masker WajahE R FriatnaR AchmadH TantiFriatna, E. R., Achmad, R., Tanti, H., "Uji Aktivitas Antioksidan pada Kulit Jeruk Manis Citrus sinensis sebagai Alternatif Bahan Pembuatan Masker Wajah", pp. 5-6, Agustus, Aplikasi Gel Ekstrak Kulit Citrus sinensis terhadap Epitelisasi pada Penyembuhan Luka Gingiva Tikus Sprague DawleyA T KartikaningtyasPrayitnoP L SriKartikaningtyas, A. T., Prayitno, Sri, P. L., "Pengaruh Aplikasi Gel Ekstrak Kulit Citrus sinensis terhadap Epitelisasi pada Penyembuhan Luka Gingiva Tikus Sprague Dawley", In Jurnal Maj Ked Gi Ind, Vol. 1, No. 1, ISSN 2460-0164, pp. 87, Juni, Senyawa Bioaktif sebagai Antioksidan Alami Spirulina platensis Segar dengan Pelarut yang BerbedaF FirdiyaniW A TriF M WidodoFirdiyani, F., Tri, W. A., Widodo, F. M., "Ekstraksi Senyawa Bioaktif sebagai Antioksidan Alami Spirulina platensis Segar dengan Pelarut yang Berbeda", In Jurnal JPHPI, Vol. 18, No. 1, DOI pp. 30, April, Edible Film dari Pati Jagung dengan Penambahan Filtrat Kunyit Putih sebagai AntibakteriR R AmaliyaD R P WidyaAmaliya, R. R., Widya, D. R. P., "Karakteristik Edible Film dari Pati Jagung dengan Penambahan Filtrat Kunyit Putih sebagai Antibakteri", In Jurnal Pangan dan Agroindustri, Vol. 2, No. 3, pp. 46-48, Juli, Senyawa Antioksidan, Antimikrobial dan Toksisitas dari Akar Tanaman Bayam Berduri Amaranthus spinosusM AlmurdaniM. Almurdani, "Eksplorasi Senyawa Antioksidan, Antimikrobial dan Toksisitas dari Akar Tanaman Bayam Berduri Amaranthus spinosus", J. K, Tesis Universitas Riau, Pekanbaru, Indonesia, 2013.
daribahan-bahan kimia yang berbahaya. Kertas seni dapat dimanfaatkan sebagai media untuk menampilkan nilai-nilai seni rupa, karena wujudnya masih menampakkan serat-serat alami dan kertas tersebut dapat dihadirkan secara utuh sebagai bahan yang mengandung unsur-unsur estetis (Bahari, 1995). Dalam pembuatan kertas seni perlu